naskah monolog putu wijaya
BOM
(KALAU
BOLEH MEMILIH LAGI)
Karya Putu
Wijaya
Waktu
aku bangun, di sampingku ada bom. Menyangka itu sisa-sisa dari mimpi, aku
acuh-tak-acuh saja. Aku tangkap saja dan memeluknya seperti guling. Tidurku
berkelanjutan lagi untuk beberapa jam. Tatkala aku bangun terlambat esoknya,
bom itu hampir saja menindih kepalaku.
Sekarang
aku tercengang. Aku belum pernah meraba sebuah bom. Di dalam bisokop bom tidak
pernah menjadi terlalu penting. Yang penting adalah akibat-akibatnya. Sekarang
aku terpaksa mengerti bahwa bom tidak sesederhana yang disampaikan oleh seorang
juru kamera atau seorang sutradara film. Bom adalah sesuatu yang keras, dingin,
penuh dengan seluk-beluk dan menimbulkan keruwetan tentang: apa yang harus
diperbuat dengan sebuah bom.
Aku
hanya tidur seorang diri. Istriku telah berangkat ke pasar. Sedangkan anak-anak
pada jam sembilan seperti ini, sudah pasti semuanya berada dalam kelas. Aku
terpaksa menghadapi bom itu sendirian. Pembantu dalam rumah tentu tidak bisa
diajak berunding. Iyem hanya bisa mencuci dan memasak, sambil memecahkan secara
berkala gelas-gelas, pelayan itu tentu tidak bisa diajak menghadapi bom.
Bom
itu seperti bayi yang minta dimanjakan. Aku tahu itu taktik yang sangat
berbahaya. Begitu disentuh, maka tenaganya akan merasuk ke dalam badan,
melumpuhkan otak, membakar emosi, sehingga setiap orang bisa menjadi opembunuh
yang keji. Aku hanya berani memandangnya. Meninggalkan pun tidak bisa, karena
aku khawatir bom itu akan bertingkah. Berkembang di luar pengamatanku. Bahkan
waktu pintu diketok, aku cepat-cepat membentak Iyem, supaya enyah jauh-jauh.
Pintu itu aku kunci.
Kini
aku yakin bahwa bom itu sedang bekerja. Aku seperti mendengar bunyi ketukan
sehingga aku jadi curiga kalau-kalau itu bom waktu. Kalau ya, tanpa dibantu
lagi ia akan meledak. Bagiku sekarang tinggal pilihan di mana aku dapat
membiarkan bom itu meledak, tanpa membahayakan banyak orang.
Dalam
keadaan seperti itu, aku teringat kepada musuh-musuhku. Tetangga-tetangga yang
aku benci. Majikan yang pernah menyakiti hatiku. Bekas-bekas pacar dan beberapa
pejabat yang culas, akan tetapi tetap menjadi wakil yang terhormat. Aku juga
teringat kepada gubuk-gubuk liar gelandangan yang seharusnya lebih pantas
mati daripada hidup lebih lata dari binatang. Dengan mudah aku dapat membawa
bom itu ke sana. Meledakkannya, lalu memikul resikonya. Dianggap penjahat atau
pahlawan. Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi
pahlawan atau penjahat secara spektakuler.
Aku
merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus. Mungkin sekali aku
akan keluar rumah dan mengumumkan kepada para tetangga untuk menjauhi rumahnya.
Tapi aku khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran.
Dan kalau ternyata apa yang kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan
ejekan.
Selama
satu jam aku tak dapat memutuskan apa-apa. Selama waktu itu rasa cemasku makin
menjadi-jadi. Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung. Lalu bom itu aku
raih. Aku dalam baju, aku bawa keluar, untuk diungsikan ke suatu tempat yang
tidak mengganggu orang. Tetapi di mana, di mana ada tempat yang tidak
mengganggu orang? Rumah tetangganya amat dempet-dempetan. Di mana-mana banyak
orang. Apalagi di sekitar rumahku pasar dan jalan raya yang ramai.
Sambil
memeluk bom, dengan memakai sarung yang kusut dan sandal jepit, aku kebingungan
di depan rumah. Aku pikir aku harus memilih dengan cepat, apa yang harus
dikorbankannya. Bom itu tampaknya tidak banyak punya waktu lagi. Mungkin masih
ada seperempat jam yang sangat mendesak. Sesudah itu setiap saat bisa terjadi
ledakan.
Untuk
tidak menarik perhatian orang, aku kekep makin kuat bom itu. Sekarang aku mulai
menghitung sekali lagi, apa yang harus aku korbankan. Rumah tanggaku sendiri?
Rumah salah seorang tetangga yang dibenci oleh seluruh kampung karena selalu
bijkin onar? Sebuah mobil sedan kepunyaan orang asing yang kebetulan lewat?.
Kantor polisi? Atau sebuah tanah lapang?
Karena
kekacauan pikiranku, jantungku lebih keras menghitung. Saraf-sarafku tegang.
Aku tidak bisa lagi berpikir dengan baik. Tiba-tiba saja aku lari kencang
sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang bendera yang tinggi. Tiang
bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan
anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.
Mula-mula
aku tidak menarik perhatian orang banyak, sebagaimana yang aku harapkan. Tetapi
setelah aku mulai menaiki tiang bendera itu, orang-orang gempar. Mula-mula yang
berdekatan saja. Kemudian dari jalanan mengalir banyak orang melihat aku hampir
mencapai puncak bendera.
Tetangga-tetangga
mula-mula tertawa, tetapi serentak mereka tahu bahwa itu aku, mereka heran. Di
kalangan pergaulan biasa, aku adalah seorang manusia yang wajar, sabar serta
baik. aku dikenal sebagai orang yang lurus yang tak akan melakukan apa-apa
tanpa alasan yang kuat. Dan kalau sekarang aku memanjat tiang bendera setinggi
itu hanya dengan kain sarung, pasti ada yang istimewa. Mereka pun berhenti
ketawa, lalu lari menghampiri.
Seorang
anak lari ke sekolah, memberitahukan anak-anakku apa yang terjadi dengan bapaknya.
Anakku melapor kepada gurunya. Lalu guru itu sendiri menganjurkan agar
anak-anakku berlarian ke bawah tiang bendera. Salah seorang pergi ke rumah. Ia
tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Iyem telah pergi bersama orang lain menuju
tiang bendera. Sementara istriku yang sedang berbelanja sudah mengalir juga
bersama orang banyak.
Okiiii,
turun kamu, teriak semua orang sambil melihat ke puncak bendera. Aku memberi
isyarat agar orang-orang itu menjauh. Aku menunjuk ke bom yang berada di balik
bajuku. Tapi orang-orang itu tidak mengerti. Mereka berkumpul tambah banyak.
Okiii,
turun, jerit istriku yang baru sampai. Anak-anak ikut menjerit di samping
ibunya.
Bapaaak!
Turunnnnn!
Aku
bertambah kukuh berpegang. Ujung bendera itu mengibas-ngibas. Aku
mengeluarkan bom itu lalu membungkusnya dengan bendera. Aku memandang ke
bawah dengan cemas. Aku lihat begitu banyak orang. Tidak penting lagi bahwa di
antara mereka itu ada tetangga, istri dan anak-anakku. Aku melihat begitu
banyak orang. Rasa cemasku bertambah besar.
Jangan
bunuh anak itu, teriak istriku
Orang
banyak terkesima. Kamu bilang anak, anak apa?
Istriku
meraung, mengacungkan tangan dan menunjuk ke buntalan yang aku kekep.
Orang
banyak segera sadar. Kini perhatian mereka tidak lagi kepadaku, tetapi kepada buntalan
itu. Semuanya terdiam, memandang ke atas dengan cemas. Mereka tidak berani lagi
beteriak, khawatir kalau aku jadi gugup dan menjatuhkan anakku.
Jangan
bunuh anak itu, Oki, itu anak kamu sendiri!
Anak-anakku
ikut membantu ibunya. Mereka membuka mulut lebar-lebar.
Bapaaaaak!
Jangan bunuh adik kamiiii!
Orang
banyak tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Ini adalah masalah pribadi.
Mereka hanya memandang sambil membagi simpati mereka, kepada pihak mana saja
yang nanti ternyata benar. Sedangkan akudi puncak bendera itu semakin
ketakutan. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ketukan dari dalam bom itu makin
keras menusuk-nusuk jantungku.
Aku
berteriak supaya orang-orang menghindar.
Pergii!
Pergiii semua!!
Tetapi
orang banyak makin mengalir ke bawah tiang bendera.
Aku
jadi tambah takut. Tubuhku gemetar. Tiang bendera itu ikut bergetar melanjutkan
ketakutanku. Ini menyebabkan masyarakat di bawah tiang bendera itu cemas.
Apalagi karena tanggungjawab dan ketakutan, aku memeluk erat-erat bom itu. kalau
ini meledak, biar akulah yang hancur sendiri, kataku putus-asa. Aku dekap bom
itu ketat-ketat.
Jangaaaan,
Paak! teriak istriku.
Orang
banyak ikut berseru.
Jangaaaaan,
Okiiii!! Sayang anakmu!!
Aku
tidak mendengar, aku terus mendekap. Istriku terus menjerit. Anak-anak berhenti
membuka mulut, sekarang mereka menangis.
Pada
saat itu orang banyak mulai bingung. Keadaan menjadi tegang dan kacau. Hanya
ada seorang petugas yang tenang. Ia melihat keadaan bertambah kritis. Ini
memerlukan tindakan cepat. Harus diputuskan cepat dan dilaksanakan dengan
segera. Petugas itu menarik lengan istriku.
Jadi
suamimu ingin membunuh anakmu?
Benar,
Pak.
Mana
di antara keduanya yang paling kau cintai?
Kedua-duanya.
Tidak
bisa, pilih satu saja!
Tidak
bisa, Pak, saya pilih kedua-duanya.
Petugas
itu menggeleng dengan dingin.
Keadaan
sudah gawat, kamu harus memilih satu, suamimu atau anakmu?
Istriku
tidak dapat memutuskan. Ia tetap ingin keduanya. Ia tidak mau memilih. Ia lebih
suka menangis dan memandang ke puncak bendera sambil menadahkan tangan.
Okiiii!
Anak-anakku
ikut berteriak.
Bapaaaak!
Tiba-tiba
anak-anakku jatuh pingsan karena terlalu keras berkoar. Ini menyebabkan petugas
itu cepat bertindak. Ia menengok ke atas. Dilihatnya aku memeluk bom itu
dengan keras sekali. Lalu ia mengacungkan bedilnya. Istriku menjerit. Ia
memeluk kaki petugas itu dan mencakar-cakarnya.
Jangan,
Pak! Jangannnnn!
Petugas
itu tidak tergoda. Ia memerintahkan orang banyak agar ikut membantu. Lalu
puluhan, barangkali ratusan – kalau tidak bisa dikatakan ribuan tangan
merentang, mengembangkan jari-jari, siap menerima apa yang akan jatuh.
Tangan-tangan itu bagai dataran putih yang empuk. Aku di atas tiang bendera
sama sekali tidak mengerti, kenapa begitu banyak tangan menadah. Tapi waktu aku
melihat pucuk senjata itu mengarah ke atas kepalaku, aku semakin keras memeluk.
Dor!
Peluru itu menembus salah satu bagian tubuhku. Tapi aku tidak jatuh. Aku masih
terus menempel, melilit tiang bendera.
Dor!
Tanganku lemah memeluk.
Dor!
Aku terus melilit tiang. Tapi bom itu lepas dari peganganku. Dengan diselimuti
oleh bendera, bom itu melayang ke bawah.
Sepuluh,
atau seribu, kalau tidak berjuta-juta tangan yang menadah berebutan hendak menjemput
barang yang jatuh itu. Aku masih sempat mendengar ledakan yang dahsyat. Aku
masih dapat membayangkan tangan-tangan itu lepas dari tubuh pemiliknya,
terlempar ke udara sambil menyerakkan daerah. Aku masih bisa melihat seratus,
seribu atau berjuta-juta orang kehilangan tangan. Tangan anakku, tangan
isteriku, tetanggaku, tangan begitu banyak orang terlempar tepat mengemai
mukaku.
Aku
mengeram.
Kalau
boleh memilih lagi, aku tidak akan menjamah bom itu. Akan ia biarkan saja
tergolek di tempat tidurku sebagai bencana atau mimpi buruk.
Aku
tidak tahu darimana asalnya, siapa yang telah mengaturnya. Dan yang lebih
penting lagi, aku tidak usah merasa mempunyai kewajiban apa-apa. Apalagi secara
diam-diam menaruh harapan untuk menyelamatkan orang banyak.
Sambil
tersiksa oleh akibat perbuatanku, aku mati perlahan-lahan. Tubuhku bagai
sekerat dendeng, tetap tergantung di tiang bendera itu, sampai sekarang
Jakarta
1978
BUMERANG
Karya : Putu Wijaya
Assalamualaikum. Salam
sejahtera buat semua. Para hadirin sekalian yang saya muliakan, sebelum memulai
pembekalan, mari kita nyanyikan lagu Sorak-Sorakpergembira. Tu-wa-ga-pat, yak!
LAGU SORAK-SORAK
BERGEMBIRA.
Terima kasih. Lagunya
sama, tapi arti kemerdekaan di kepala kita berbeda-beda pasti ada yang
memaknakannya sebagai tiket untuk boleh berbuat apa saja. Ya tidak?! Ngaku
saja, ya! Silakan, asal hanya di kamar mandi, (TERTAWA) maksudnya di rumah
sendiri.
Ada yang mengartikan kemerdekaan bukan saja di rumah, di ruang
publik pun oke berbuat apa saja, asal sembunyi-sembunyi, biar hanya Tuhan yang
tahu. (TERTAWA)
Ada
yang mengartikan kemerdekaan adalah saat setiap orang boleh punya pendapat apa
saja. Mencintai orang yang dicintai, mencintai orang yang tidag mencintai,
termasuk mencintai orang yang tidak dicintai serta mencintai orane yang di dan
membenci. (TERTAWA) Walhasil kita bebas berbeda pendapat. Termasuk pendapat berbeda
dengan (LIRIH) pemerintah. Asal pintar main belakang. sttt! (TERTAWA)
Apa lagi yang boleh
dałam kemerdekaan, ya? O, ya, bukan hanya perbedaan bersuara diamini, perbedaan
keyakinan pun, tidak dilarang. Asal pintar (MENYANYI) bersandiwara. (TERTAWA)
Yang
penting, hindari konflik terbuka. Termasuk konflik intern. Kalau istri tidak
mau, jangan dipaksa! (TERTAWA)
Tetapi ada juga yang
berpendapat sebaliknya. lni tidak boleh, itu pun jangan, semua tetek bengek
dilarang. Kernerdekaan justru berarti tidak merdeka! Karena dałam kemerdekaan
akan berjibun peraturan, melarang, memborgol, mengancam dari A sampai Z, agar kemerdekaan kita tidak bablas mengkanibal kemerdekaan orang lain
yang juga merdeka.
Nah,
sekarang, apa arti kemerdekaan buat Anda? Apa anda punya rumus kermerdekaan yang lain? Biasanya kan ada
yang suka nyelonong nyeleneh sendri, begitu. Coba itu ! Ya, sampeyan! Apa ?
O,
itu? Kemerdekaan yang memperbolehkan orang berbuat apa saja di rumahnya
sendiri? Ya, betul itu. Kenapa? (MENDENGARKAN) Apa? salah? Kenapa anda menuding
itu salah kaprah?
O,
begitu! Jadi beliau itu protes. Kalau begitu apa itu berarti mentang-mentang di
rumah sendiri kemerdekaan memperbolehkan orang boleh membunuh anaknya sendiri
seperti kasus An... ? Itu kan meniru
akal singa jantan Yang ngebet ingin bercinta lagi dengan istrinya tapi ditolak
karena oroknya masih
netek. Langsung oroknya dihabisi! Begitu? Tanya beliau itu. Sinis banget!
Jadi, begini. Itu, itu,
tidak bisa! Penerapannya salah! Kita kan bukan binatang! Jangankan membunuh anak, menelantarkan
anak saja sudah bisa diseret masuk penjara ! Ya, kan ?!
Apa? (MENIRUKAN) Anak itu milik orangtua? Salah lagi! Kita kan hanya pipa penyalur. Anakmu, bukan anakmu, Bro, tapi titipan Tuhan dan termasuk negara! Dengerin! Dengerin! Di dalam kemerdekaan, di rumah sendiri pun tidak boleh berbuat semena mena!
Apa? Kemerdekaan palsu?
Salah! Anda tetap merdeka. Tetap bisa bebas asal terbatas, bukan bablas.
Apa? Telanjang di kamar
mandi kan boleh. Boleh, asal jangan telanjang di muka urnum dengan merasa
sedang mandi. Itu orang gila! Anda tidak gila, kan?
Apa?
(ADA YANG BERTANYA) Keras dikit! (MENGULANG PERTANYAAN) Apa kita boleh merdeka
berkeyakinan, merdeka berbeda pendapat dengan (LIRIH) pemerintah?
Sekalí lagi dan untuk
yang terakhir kali, berkeyakinan beragama itu boleh. Adat istiadat berbeda
tidak jadi masalah. Tapi kalau berbeda dalam dasar-dasar negara, itu tidak bisa! Sebab akan memicu
perpecahan. Bisa berkembang jadi perang saudara.
Berbeda secara mendasar
tidak dikenal oleh kemerdekaan mana pun. Kecuali kemerdekaan rimba. Kalau ada,
itu bukan kemerdekaan, tapi anarkisme yang harus dibasmi sebelum meranggas jadi
teror!
(BERPANTUN)
Ada
pulau dalam pulau
Pulau
Samosir Danau Toba
Walau galau kian galau
Bebas bablas jangan
dicoba
Bila
mata naik ke cakrawala
Hati ciut ketakutan
Bila negara dalam
negara
Itu musuh persatuan
Lho, jangan hanya
mengangguk-angguk. Apa pendapat Anda?
Apa?
Anda setuju boleh berbeda keyakinan mendasar dengan pemerintah? Menjadi musuh
dalam selimut? Itu namanya subversip. Sebab siapa pun pemerintah itu, kalau itu
hasil pilihan kita dalam pernilu yang sah, benar dan adil, harus dihormati. Berikan
dukungan, jangan belum apa-apa sudah dikobok-kobok. Berikan kesempatan bekerja!
Nanti kalau sudah jelas salah arah, silakan kepruk, harus, jangan tunggu sampai
30 tahun. Tapi kalau mau mengganti, ya menang dulu, kan kita sedang belajar
demokrasi.
Tapi ingat, kalau
hasilnya bagus, jangan diam-diam saja, pura-pura tidak tahu! Ngomong! Fair dikitlah!
(TERTAWA) Susah, ya! Mulut sudah terbuka tapi
hati beku. Hati mau bersuara tapi mulut dibelenggu!
Rasain! Emang merdeka itu enak?
Dalam kemerdekaan kita
tidak merdeka. Karena banyak peraturan yang membatasi kemerdekaan kita, supaya
tidah menginjak kemerdekaan orang lain yang sama-sama merdekanya, seperti kita.
Tapi tidak berarti kita tidak merdeka, karena, kita ikhlas menerima
ketidakmerdekaan itu! Begitul
Apa? Nah sekarang
bagaimana pendapat Anda! Benarkah kita sekarang sudah merdeka? Karena kita
sudah tidak diinjak-injak penjajah Iagi?
Kita hanya bebas
terbatas, akibat diborgol peraturan, agar tidak bablas, demi keselamatan
kemerdekaan orang lain. Dan kita memang sudah ikhlas dipasung begitu
Walhasil kita sudah
merdeka meskipun tidak merdeka! Setuju? Jadi...
(MENEBARKAN PANDANGAN) Halo… lho,
lho, kok, wah, bagaimana ini? pada
kemana semua? Tadi ruangannya luber sampai ada yang duduk di lantai. Kok sekarang kosong melompong? Kabur?
Itu kemerdekaan yang salah! Pada ngacir, ke mana? Kok ngibrit? Takut salah
ngomong, ya? Kan kita sudah merdeka? Sudah merdeka belum
ini? Hei, heeii! Jangan kabur! Heeii ! (MENGEJAR) Heeii! ( PANIK) Keamanan!
Petugas! (TAMBAH PANIK, KE SANA KEMARI) Panitia! Panitia, stop! Siapa nyuruh
itu! Jangan bagi konsumsi dulu! Ambil lagi! Rebut saja! Satpamnya mana?
Satpammmm! Satpam semua kumpul! Amankan!
Kunci semua pintu. Tahan
semua yang mau keluar! Pembekalan belum selesai! Tahan! Kecuali yang mau masuk!
Ah, tidak! Banyak alasan! Pokoknya tidak boleh! Tidak! Jangan tinggalkan ruangan kecuali mau ke
kamar kecil. Tidak boleh! Kalau perlu boleh! Pakai pentungan karet saja! Ya
sudah, borgol saja! Itu yang dekat pintu tarik saja! Tarik!
TERUS SIBUK. RIBUT
MEMBERI INSTRUKSI.
Jakarta,
15 Agustus 2015
DAMAI
Karya : Putu Wijaya
LATAR BELAKANG LAYAR PUTIH RAKSASA. MENAMPILKAN BERBAGAI SILUET HITAM-PUTIH
/ BERWARNAUNTUK AKSENTUASI VISUAL ADEGAN
Di sebuah padang lepas, lautan rumput hijau merentang
sampai ke kaki langit. Cakrawala terbuka berdandan biru medok terang benderang
memancarkan damai. Bunga-bunga semak liar, bergetar dikibas angin yang ramah dari
penjelajahan ribuan kilometer. Hidup terasa tenteram. Pekik burung yang menoreh
angkasa merambat panjang memasuki telinga hewan-hewan yang mencari makan
tanpa ketakutan.
Barangkali itu hanya sebuah
lamunan. Tapi damai yang sayup memang.meletupkan keindahan untuk meredam cemas
yang kia hari tambah gila dalam kehidupan buas ini. perang berkecambuk
di mana-mana. Api menjilat ke seantero
wilayah. Tak terkecuali mimpi yang indah pupus ludas terjilat hangus.
Para pemburu damai mencium bau
darah. Lalu tiba-tiba saja mengentakan kakinya dan berteriak garang. Serang,
terjang!
Mula-mula hanya telinga-telinga rusa yang bergetar. Lalu serangga-serangga kecil menggetarkan sayap. Mencoba luput
tapi terlambat.
Ratusan ribu bahkan berjuta-juta
sepatu menapak serentak ke atas keheningan, memuntahkan Wajah yang sudah
tanpa wajah. Semuanya bagaikan terhisap
oleh magnet raksasa yang dipancarkan dari dia yang akan
menyampaikan orasi gagasan perdamaian baru.
Dalam sekejap mata, padang tak terbatas itu sudah tak
punya ruang lagi. Di mana-mana wajah
manusia yang kosong, memandang ke atas altar. Kepala-kepala mendongak seperti
mau lepas dari leher, ketika seorang orator naik untuk berbicara. Pekik-sorak
gemuruh mengelu-elu. Semua mata nyalang membidik ke depan.
Dengan wajah sebersih bocah, nyaris tanpa dosa,
pemimpin itu berdiri di depan massa. Ia bagaikan sebatang pohon mengkudu dengan
daun-daun yang gembur berwarna hijau rimba, menjanjikan penawar bagi seribu macam penyakit. Matanya yang adem membuat matahari
tersipu, lalu menghindar ke balik awan-awan
tipis, membiarkan peristiwa itu lewat sendirian dengan kodratnya. Ketika pemimpin itu mengangkat tangannya,
seluruh padang mendadak mati. Tak ada lagi yang berani bertepuk dan berbicara.
Bahkan nafas pun ditahan, takut menganggu ucapannya.
Hari ini kita berkumpul lagi di sini menyatukan tekad
kita untuk menyerukan kepada seluruh
dunia, kepada seluruh umat manusia, kepada saudara-saudaraku di lima benua,
atau di mana saja kini kau berada.
Sadarilah, dunia berada di dalam bahaya. kita semua sedang di tebing keruntuhan. Bangkitlah, saudaraku! waspada, bangunkan
dirimu untuk menyongsong dunia yang lebih baik. yang lebih damai. Yang lebih sejahtera dan lebih membahagiakan. Dengarkan
suaraku, sebagai wakil dari hasrat batinmu yang mengharapkan masa depan yang
lebih damai.
Di masa lalu, seorang yang
sangat besar, berjasa,
luhur jiwa dan mulia perbuatannya telah mengucapkan sebuah tonggak yang sampai kini menjadi kajian dunia. Kata beliau:
Perang adalah alat yang berguna untuk memelihara perdamaian dunia.
Senjata, kekuasaan, pembunuhan diperlukan untuk membuat manusia takut kehilangan damai, sehingga ia akan senantiasa memuja,
memeluk dan mengupayakan perdamaian sepanjang hidupnya. Perang adalah anjing
penjaga perdamaian. Perang adalah benteng terakhir perdamaian.!
Tetapi itu dulu! Dulu! Ratusan tahun lalu. Ketika kita
semua masih lugu. Ketika banyak orang belum tahu. Sekarang aku sangsi, aku
bertanya kepada diriku sebab aku tidak bisa
lagi bertanya kepada beliau. Lihatlah kenyataan di atas dunia ini.
Perang di mana-mana tidak hanya membunuh para serdadu, tidak hanya melukai
orang-orang bersenjata yang berperang.
Perang zaman sekarang lebih banyak lagi melukai dan membunuh rakyat sipil, anak-anak, orang tua dan
khususnya para wanita. Benar tidak?
Benar sekali!
Seandainya beliau, tokoh sejarah
dunia yang besar itu, sempat melihat betapa buasnya perang, betapa ganas, brutal, biadapnya
pertempuran, aku yakin beliau tidak akan
sampai hati mengucapkan apa yang sudah digariskannya dan menjadi panutan
manusia untuk membenarkan peperangan sampai sekarang. Perang ternyata bukan anjing gembala penjaga perdamaian, tetapi anjing-anjing srigala liar yang gila, yang kelaparan, membunuh umat
manusia lebih cepat, lebih keji. Perang adalah binatang liar yang menghancurkan perdamaian!
Pemimpin itu mengangkat tangannya dan berseru lebih
keras: Perang
adalah binatang buas pemakan perdamaian!
Bagaikan kena hipnotis, seluruh tangan terangkat dan
mulut terkuak, melontarkan seruan yang
sama: Perang adalah binatangt buas pemakan perdamaian!
Pemimpin itu menarik napas dalam, tanda hatinya lega.
Kemudian lanjut. Banyak orang bunuh-bunuhan untuk merebut kemerdekaannya.
Banyak orang berkelahi untuk menegakkan
keadilan, membela kebenaran. Agar mencapai kesetaraan di masa depannya yang lebih
baik. Banyak orang berkelahi untuk membela kemanusian yang diinjak kekuasaan.
Lalu mereka mengangkat senjata, mengobarkan perang, untuk membunuh lawan sampai
ke akar- akarnya.
Tetapi sekali perang berkobar,
dia akan menjadi mesin buas
yang tidak puas hanya membunuh. Perang juga akan memusnahkan segala-galanya.
Karena itu aku menentang. Aku mengangkat
tangaku dan berseru: Tidak!!!!
Masa langsung mengulangi lebih keras: Tidak!!! Tidak!!! Tidak!!!!
Pemimpin itu mengangkat tangan
kembali.
Tapi tetap saja masih ada orang-orang di sekitar kita yang dengan pongah mengatakan bahwa Perang dan Damai adalah dua wajah di
satu mata uang. Perang untuk damai, kata mereka. Damai hanya mungkin lewat perang, kata mereka.
Mereka jual peperangan ke mana-mana
di seluruh dunia! Maka tak heran kalau bagaikan narkoba, perang mulai
menggigit, menjangkiti dan meracuni jiwa
generasi tua-muda. Semua orang jadi
mabuk berperang! Kawula muda mudah beringas. Orang-orang tua cepat tersinggung. Semua
mengepalkan tangan mau main pukul, tak peduli siapa salah, siapa benar. Saat
itulah aku jadi sebel! Aku marah! Bangsat!
Perang adalah perang.
Damai adalah damai. Perang dan damai mutlak bermusuhan! Ayo, sebagai
manusia yang waras yang beriman, sebagai manusia yang masih percaya kebesaran
ilahi, yang masih mencintai sesama makhlukNya, sesuai dengan perintahNya,
serukanlah sama-sama seratus kali
dengan suaramu yang mantap, gegap-gempita:
Perang adalah perang. Damai adalah damai.
Perang dan damai dua kutub yang bertolak belakang!
Massa serentak berkoar: Perang adalah perang, damai adalah damai. Perang
dan damai dua kutub yang bertolak belakang!! Seratus kali!!
Pada seruan yang kesembilan,
pemimpin itu menarik nafas lega, lalu mengangkat tangan membungkam suasana. Kembali lautan padang hijau itu
hening sepi. Semua menanti. Tetapi tepat ketika tercipta lorong sunyi itu, tiba-tiba terdengar ucapan seorang anak Perang adalah
damai, damai adalah perang. Perang dan damai dua kubu yang selalu besratu!
Suara itu tidak keras,
tetapi isinya menebas. Semua kepala memalingkan muka. Seorang pelajar dengan
buku-buku pelajaran di tangan, baru pulang dari sekolah, nampak terpukau
oleh ucapannya sendiri. mulutnya masih
hangat : Perang dan damai, dua kubu yang
selalu bersatu!
Orator kontan membentak. Salah! Perang dan damai, dua kubu yang
pantang bersatu!
Satu kubu yang selalu bersekutu!
Orator terperanjat. Matanya
menyala-nyala. Sontoloyo.
Siapa kamu? Kemari!
Pelajar itu menguakkan massa,
lalu naik ke mimbar. Eh, altar! Mimbar atau altar terserah!
Apa kamu bilang,
kurcaci? Dengar baik-baik! Perang
adalah perang. Damai adalah damai. Perang dan damai dua kutub yang haram
bersatu!
Dua kutub yang selalu bersatu!
Bego! Bagaimana bersatu kalau
tidak pernah ketemu!
Selalu Bertemu!
Tidak!
Selalu!
Plak! Tangan orator itu menampar pelajar. Apa?
Pemimpin! Orator atau pemimpin terserah sekarepmu! Plak! Plak! Crot! Gedebuk!
Yang ditampar terjerembah jegreg, terkapar di tanah.
Buku-buku di tangannya berserak. Tapi ia langsung bangkit, melonjak lagi
seperti tidak mampu menahan kata-katanya : Perang
dan damai selalu bertemu, bersatu-padu!
Jiamput, cukimai, keblinger kamu!! Guru kamu busuk! Perang
dan damai tidak bisa bersatu!
Bersatu!
Tidak!
satu!
Tidak!
Satu!Satu!Satu!
Tidak!
Brengsek!
Tiba-tiba sang pemimpin menghunus senjata, membidik
kepala pelajar.
Si kancil itu gemetar takut, terkentut-kentut dan
ngompol, bahkan beol, tapi mulutnya terus berkoar memuntahkan indoktrinasi di
sekolah. Bahkan tambah nekat: Perang dan damai dua kutub yang selalu bersekutu!
Selalu terpadu! Selalu!
Dor. Dor! Dor!.Tiga kali. Dua kali lagi. Dor! Dor! mencabik
padang damai yang hening itu, membuat tiba-tiba terasa amat kosong, bahkan
terlalu blong.
Pemimpin meniup asap dari lop
senjatanya, lalu menyimpannya kembali ke dalam orasi damainya. Kemudian ia menarik
napas panjang, seakan membatalkan seluruh peristiwa brutal yang muncul dari
orasinya.
Beberapa detik kemudian suaranya
terdengar lebih lantang. Saudara-saudaraku, sadarlah, dunia dalam
bahaya. Atas nama apa pun, sekali lagi dan seribu kali lagi, atas nama apa pun,
Perang akan memusnahkan segala-galanya. Tak terkecuali akan memusnahkan yang di
atasnamakannya! Jadi, Bangkitlah sebelum
terlambat!
Mengaum dengan keras: Perang
adalah perang. Damai adalah damai Perang dan damai dua kutub yang tidak boleh bertemu.
Ulurkan tanganmu, pegang tanganku, bersama-sama kita
songsong dunia baru dan pemahaman baru!
Damai lewat perang adalah damai palsu! Perang demi mengakkan perdamaian
adalah jurang kehancuran! Damai lewat pembunuhan adalah kebiadaban! Damai lewat kekerasan adalah kesesatan! Damai lewat lautan
darah adalah kemusnahan! Damai tanpa senjata! Damai tanpa benci! Damai tanpa
kemenangan. Damai tanpa kekalahan. Damai abadi! Perang mati!
Massa tak bisa lagi membendung diri. Semuanya memekik
histeris.
Damai abadi, perang mati!
Perang mati, damai abadi!
Damai abadi, perang mati!”
Seruan itu terlontar memenuhi padang. Menghentak-hentak mengapai matahari. Lalu pemimpin itu turun, berjalan
menembus padang ke kaki langit, Semua
mengikuti bagaikan sebuah sungai raksasa, mengalir sambil bernyanyi dengan gembira:
Damai tanpa senjata, damai tanpa
darah, damai tanpa kekerasan, damai tanpa kekejaman, damai tanpa pembunuhan, damai tanpa peperangan! Damai abadi,
perang mati! Damai abadi! Perang mati!
Damai abadi! perang mati!
Perlahan-lahan padang itu kembali
sunyi. Rumput-rumput rebah diam-diam meregang untuk tegak. Serangga yang
menghilang, mulai berhamburan ke sarangnya yang sudah porak-poranda terinjak-injak.
Kijang-kijang yang ketakutan muncul dari balik semak-semak. Lalu angin berhembus lagi membawa sejuk
dari arah danau dan pegunungan.
Lautan hijau itu kembali
menghijau dengan seluruh kebebasannya.
Namun, di atas mimbar tubuh pelajar itu terbaring bersimbah darah.
Buku-buku yang berserakan di sekitarnya
seperti meratap sia-sia. Kepalanya
pecah. Di bibirnya masih menggeliat sisa-sisa perkataan yang belum semua berhasil ia ucapkan.
Perang dan damai ular berkepala dua!
Namun semua itu tertutup oleh nyanyian perdamaian yang sayup-sayup terus menggeliat digaet angin, menggeliat
di atas wajah pelajar yang telah kaku:
Damai tanpa senjata, damai tanpa
darah, damai tanpa kekerasan, damai tanpa pembunuhan, damai tanpa peperangan,
damai abadi, perang mati, Damai abadi, perang mati! Damai abadi, perang mati! Damai
abadi, perang mati! Damai abadi! Damai abadi! ....
LAYAR RAKSASA ITU BAGIAN TENGAHNYA
MUNDUR, SEDANGKAN UJUNG KANAN DAN KIRI MAJU MEMBENTUK LORONG. LAMPU MERAH DI
UJUNG LORONG.
Damai abadi! Damai abadi !
ORATOR MASUK KE LORONG. LORONG
KEMBALI JADI LAYAR. BAYANGAN ORATOR MEMBESAR SAMBIL MENGHUNUS SENJATA MEMIMPIN
SERUAN “DAMAI ABADI” MAKIN KERAS, GEGAP GEMPITA. BAYANGAN ORATOR KIAN BESAR
MEMENUHI LAYAR LALU MENEMBAK MEMBABI BUTA. SERUAN DAMAI TAMBAH KENCANG DIIKUTI
TEMBAKAN LIAR.
LAYAR BERGETAR. PERANG BERKOBAR.
Perang adalah anjing penjaga
perdamaian! Perang dalah benteng terakhir perdamaian! Perang adalah anjing
penjaga perdamaian! Perang dalah benteng terakhir perdamaian!
DAN SETERUSNYA
Cirendeu, 27 November 2002 – 5 Januari 2016
EYANG
Karya : Putu Wijaya
PAGI-PAGI
NENEK MASUK KAMAR DENGAN KOSTUM R.A KARTINI, MENYAPA YANG MASIH MOLOR.
Selamat
pagi, Harmoni. Terima kasih banyak atas semua yang sudah kamu perbuat kepada
suamimu serta putrimu selama ini. Kamu benar-benar sudah menunjukan bagaimana seorang
ibu yang berkepribadian Timur seharusnya bersikap di dalam keluarga. Kamu
nampak selalu berusaha untuk menghargai, menghormati, menjaga perasaan suamimu.
Dengan begitu, kamu sudah menumbuhkan kepercayaan diri pada suamimu, sehingga
dia tetap merasa dirinya berguna, mampu serta dicintai.
Tidak
semua lelaki itu kuat. Banyak di antaranya yang lemah. Bahkan begitu letoinya,
sehingga pernikahan buat dia adalah mencari teman hidup, untuk menolong
tegaknya. Banyak lelaki seperti sebatang pohon merambat yang memerlukan
penyangga untuk berkembang. Dan kamu sudah melakukannya dengan baik sekali.
Sehingga walaupun suamimu tak sanggup memberikan keluarga segala yang
diharapkan oleh keluarga dari seorang kepala rumah tangga, tetapi dia sudah mampu
bertahan dan mengembangkan dirinya secara maksimal.
Bagusnya
lagi adalah kendati maksimal yang ia bisa lakukan, hanya menghasilkan sebuah
rumah yang sederhana dan kehidupan yang tidak bisa dikatakan mewah, tetapi
kamu, istrinya, selalu menerima dan menghargainya sehingga kebanggaannya
sebagai kepala rumah tangga tidak berkurang. Kamu juga tidak pernah
mebanding-bandingkan suamimu dengan suami-suami yang lebih sukses. Kamu tak
pernah mengurangi kasih sayangmu di saat ia sakit, di saat ia merasa dirinya
gagal. Bahkan di saat ia menjadi begitu brengsek, kamu dengan bijaksana, bahkan
agung, dengan penuh kasih sayang merawatnya, menyayanginya, bahkan
memanjakannya. Tetapi begitu suamimu mulai menemukan kembali dirinya, kamu
cepat-cepat menyadarkannya kembali untuk bekerja, berusaha dan awas terus di
dalam kehidupan.
Kalah
dan gagal pun tak jadi apa, asal sudah berusaha secara maksimal, katamu. Itu
sangat baik. Itulah yang ingin aku sampaikan kepada semua perempuan Indonesia.
Jadikanlah dirimu cahaya yang tidak hanya menerangi jalan kaummu, juga jalan
teman hidupmu yang telah kau pilih sebagai teman hidupmu selama-lamanya.
Namun
ada satu permintaan yang ingin aku sampaikan. Jangan berhenti mendorongnya
untuk terus meningkatkan diri. Jangan hanya menerima kekurangannya. Memang,
mula-mula harus bisa menerima kelemahan sendiri, tetapi kemudian tolong
tumbuhkan, tingkatkan dan arahkan, agar dia bisa menjadi laki-laki sejati.
Kalau perlu, jangan segan-segan bertindak dan menegurnya secara keras.
(BERBISIK) Kalau terpaksa, boleh kejam sedikit, asal jangan keterusan.
Ayo,
jangan menyerah! Bangkit! Semangat! Kamu bukan PRT, pembantu rumah tangga, tapi
kamu permata rumah tangga! Pelihara api asmaramu tetap menyala, jangan
dikurangi hanya karena meras sudah tua.
MENGHAMPIRI
SUAMI HARMONI
Kamu
dengar semua yang tadi kukatakan pada istrimu? Jangan salah tangkap, kamu harus
rasakan intinya. Terima kasih, Hartawan, anakku. Sebagai suami kamu sudah
memperlakukan Harmoni, Istrimu, bukan sebagai PRT, bukan benda hak milik, tapi manusia
yang punya rasa dan kemauan, yang kadang baik kadang kurang, seperti kamu dan
umumnya manusia normal.
Bukan
hanya pada istrimu, juga pada Amoi, putrimu, kamu selalu santun. Menghargai
hak, menghormati pendapat mereka. Bahkan kamu sering mengutamakannya dengan
menyampingkan perasaanmu sendiri. Itu sungguh jantan dan mulia. Usaha kamu
untuk membuat istrimu selalu bisa senyum, anak tetap tertawa di dalam rumah,
sungguh indah. Mengagumkan.
Lelaki
tidak seharusnya merasa dirinya lebih penting dan lebih bertanggung jawab di
dalam keluarga walaupun tugasnya memang berat. Kamu telah memberikan kesempatan
seluas-luasnya pada istri dan anakmu untuk mengembangkan pikiran dan perasaan
mereka. Di dalam berbeda pendapat, kamu selalu berusaha untuk mengerti kenapa istri
dan putrimu berpendapat lain. Bahkan dalam kesibukannya, ketika Harmoni seperti
tidak mengacuhkanmu, lebih mengutamakan kepentingan dirinya, putrinya, serta
keluarganya, kamu tetap bersabar. Bahkan ketika istrimu sama sekali tidak
mempedulikan apa yang sudah kamu lakukan untuk keluarga, kamu tetap tegar.
Walaupun Harmoni tidak pernah atau jarang sekali mengucapkan maaf kalau
melakukan kesalahan, kamu tidak peduli. Bahkan ketika istrimu tidak pernah lagi
membelai-belaimu, seperti waktu masih pacaran, kamu tetap tenang. Kamu selalu
mengatakan bahwa bukan apa yang dilakukan istrimu yang kamu nilai, tetapi apa
yang menyala di dalam hatinya.
Itu
yang namanya lelaki sejati.
Terhadap
putrimu, kamu juga sudah bersikap adil. Banyak orang merindukan anak lelaki dan
kecewa karena hanya punya anak perempuan. Tapi kamu tidak. Kamu memperlakukan
putrimu dengan begitu baiknya sehingga mirip memanjakan. Jadi, mungkin dengan
segala kebaikanmu itu, orang jadi merasa bahwa memang kamu orang kuat yang
tidak memerlukan kasih sayang. Nah, itu yang tidak baik.
Jadi,
ke depan, jangan takut untuk memperlihatkan kelemahan. Jangan menutup mulut,
katakan apa yang kamu inginkan. Jangan biarkan istrimu sibuk dengan diri dan
putrinya saja karena ia merasa kamu terlalu segar sehingga tidak memerlukan
bantuan. Tunjukkan kepada mereka bahwa kamu memerlukan mereka supaya mereka
merasa diri berguna. Kalau tidak, mereka akan bertambah jauh dan bisa-bisa
malah sama sekali tidak mempedulikan kamu. Bukan karena tak sayang, tapi mereka
menyangka memang kamu lebih senang sendiri.
Sementara,
itu dulu. Itu anakmu mulai bangun.
MENDEKATI
CUCUNYA.
Akhirnya
Eyang juga perlu bicara kepadamu, Ami, cucu semata wayangku, yang sebentar lagi
akan terbang jadi orang, seperti juga Etang dulu. (TERTAWA) Tapi Eyang dulu gugup, hampir nyangkut di pohon rambutan.
Kain Eyang lepas hampir telanjang. Untung ada jagoan menyelamatkan kemudian
jadi kakekmu. (MENGUSAP MATA) Ah, aku
tak mau lagi menangisi kepergiannya yang terlalu cepat. Puluhan ribu orang lain
juga sudah pergi terlalu cepat untuk menebus kemerdekaan kita sekarang.
Ami,
apa yang sudah kamu lakukan juga bagus sekali. Sebagai seorang anak, kamu
menjadi contoh bagaiman menghormati orangtua. Menghormati tidak berarti harus
takut atau bilang ya, ya terus. Takut akan menyebabkan orang bisa berbohong.
Bohong dapat meninmbulkan perselisihan. Itu tidak boleh terjadi.
Kamu
telah dengan berani bisa menentang bapak dan ibumu. Kalau orangtua keliru,
anaklah yang harus memperbaikinya. Tapi kalau mereka benar, kamu juga harus
dengan ikhlas menyatakan dirimu keliru, sesudah kamu menyadarinya.
Seorang
anak memang harusnya bukan hanya cahaya hati orangtua, tetapi dia juga cahaya
rumah. Anaklah yang seharusnya membuat rumah menjadi istana.
Karena
kamu anak perempuan, Eyang benar-benar ingin bicara kepadamu sekarang, antara
perempuan dengan perempuan. Bukan sanggul atau gelungan Eyang yang hendak Eyang
wariskan. Bukan Eyang menyuruh putri-putri Indonesia memakai pakaian menirukan
Eyang.
Eyang
hidup di masa lalu. Kalau Eyang hidup di masa kamu hidup sekarang, Ami, mungkin
Eyang juga akan memakai slack, hotpant, syanghai dress, backless, celana kedodoran hingga perut dan
pinggul mencolot, nyemir rambut berwarna dan bikini. Pendeknya, apa pun yang
kamu pakai sekarang, lipstick, bulu mata
palsu (MENYEBUT ALAT-ALAT MAKE UP)
akan Eyang pakai. Eyang tidak akan mau ketinggalan mode. Eyang akan berpikir
seperti apa yang kamu pikirkan. Emansipasi, kesetaraan, wanita karier dan hak
minta cerai!
Eyang
hanya berharap itu semua jangan tampak luarnya thok, itu namanya aksi bau
terasi. Yang penting isinya, intinya! Jadi harus dipikir, o itu kami butuhkan
tidak? Apa pesan dan tujuannya, apa dasar pemikirannya?
Dari
perjalanan Eyang di masa lalu, yang harus kamu simak hanya satu: Perempuan
Indonesia jangan pernah merasa dirinya lemah dan berserah pasrah. Perempuan
Indonesia berhak bersuara, bergerak sesuai dengan kodrat dan kebutuhan
masing-masing pribadinya dengan memperhatikan budaya Timur. Budaya Timur itu
apa, Ami? Bukan hanya pakaiannya, tetapi caranya memakai. Perasaan dan
pikirannya seimbang, tidak boleh serong kanan, serong kiri. Jaga, jangan ditiup
puting beliung atau diseret arus air. Mengalir tenang, wajar, waspada dan
sadar.
Semoga
kamu mengerti apa yang Eyang maksudkan. Dan satu hal lagi yang ingin Eyang
sampaikan, tapi sering kelupaan adalah, ayo buka dulu kabel HP di telingamu.
Nah,
sekarang dengar, orangtuamu, keduanya sudah semakin tua. Dan akan terus tambah
tua. Kamu sendiri bertambah maju, bertambah edan. Tapi mereka, orangtuamu itu, juga
tetap akan berusaha untuk maju meski kemampuan mereka tidak lagi selincah kamu.
Mereka hanya penari serimpi, tidak akan bisa berdansa salsa seperti kamu. Bisa
copot pantatnya!
Jadi,
kamu jangan tertipu. Jangan sok tahu. Jangan tidak punya malu. Kamu dapat
giliran ngemong mereka. Jadi babyzit,
mengasuh mereka, seperti dulu mereka ngajari kamu jalan dan bicara. Generasi
baru harus bukan hanya lebih berani saja, tetapi lebih arif bijaksana dan lebih
luas pandangannya. Lebih bertanggung jawab dari generasi yang lebih tua. Usia
tidak menjadi ukuran kedewasaan. Usia bukan ukuran kematangan. Usia tidak bisa
dijadikan kebangaan, karena kamu molor sekali pun dia terus nambah.
Nah,
itulah kepribadian kita. Semoga masa depanmu cerah, Cucuku. Oke? GBU!
MELIHAT
DIRINYA SENDIRI
Dan
ini, astaganaga, siapa lagi ini? Sudah mengkerut, keriput, cemberut dan baunya
kecut! Hei, orang gaek, siapa pun kamu, kamu penumpang gelap yang harus
mengerti aturan. Kalau mau tinggal di sini di antara orang-orang yang aku
sayangi ini jangan banyak omong, jangan banyak cingcong! Kamu sudah ompong.
Wejangan yang keluar dari perutmu hanya gonggong anjing kafilah berlalu, tahu?
Kalau tidak betah, kalau gerah, jangan marah-marah, jangan bikin orang naik
darah. Tinggal angkat kaki, susul suamimu yang sudah lama kabur. Dunia ini
memang dulu milikmu. Rumah ini kamu yang bangun. Dan memang dari kamu semuanya
ini ada. Tapi itu kan hanya sejarah. Ini sekarang buku baru dimana namamu hanya
disebut sekali, tapi kamarmu sudah tidak ada lagi. Sudah diwariskan ke yang
lain. Tahu dirilah kamu. Tunjukkan jiwa besarmu. Jangan kamu pikir matahari
masih terbit di Timur. Kumpulkan semua kenangan, masukkan ke dalam kopormu.
Sebentar lagi kamu dirazia, dicemplungkan ke rumah jompo, dikawal pegawai panti
asuhan yang mukanya dingin dan beku.
Ingat,
apa yang kamu ajarkan kepada mereka. Rasuki sukma ibu kita Raden Ajeng Kartini!
Jadi perempuan Indonesia sejati. Tegar! Tapi jangan hanya ngajarin orang,
jadikan juga dirimu sendiri Kartini, bukan hanya waktu muda, sampai bangkotan
pun harus tetap Kartini! Ayo, bangun Kartini gaek! Bangun! Bangun! Tempat kamu
bukan di sini lagi! Mereka tidak punya waktu lagi ngurus kamu!
MENYANYI
Ibu
kita Kartini
Pendekar
Bangsa
Pendekar
kaumnya
Untuk
semua
Dstnya
Bangun!
Bangun!
MENGAMBIL
SAPU DAN MEMUKUL-MUKUL. TAPI KEMUDIAN SADAR. LALU MENCOPOTI KOSTUMNYA,
MEMASUKKAN KE KOPOR. SIAP BERANGKAT.
MENANGIS.
Manado,
13 April 2010
Jkt,
11 Januari 2016
HP
Karya : Putu Wijaya
SEBUAH
KURSI. TERDENGAR SUARA PANGGILAN HP. DERINGNYA LAGU INDONESIA RAYA.
X
BERLARI MENCARI DI HP. TIDAK KETEMU.
Tunggu
dulu! Di mana sih kamu? Di mana kamu? Ya! Ya! Tungguuu! Tapi di mana kamu ?
PANGGILAN
BERHENTI.
(MENGMPAT)
Gelo sia! Begini kalau kita
tergantung teknologi! Jadi idiot!
PANGGILAN
LAGI.
Yaaa!
Tungguu! Terlalu, siapa sih nelepon pagi-pagi begini. Nggak tahu aturan! Minggu
kan waktunya istirahat! Taksaannn! Bangun! Itu kali teman kamu yang teleponnya
suka nyasar ke Mama! Jangan molor terus! Bantuin kek Mama beres-beres rumah.
HP
BUNYI
LAGI.
Nah
itu ngeyel terus! Berisik!
X
MENCAR LAGI. TIDAK KETEMU.
Taksannn,
mana HP Mama? Makanya jangan suka pakai punya orangtua. Kamu kan punya
sendiri!. Di mana ya, cepat, berisik tahu! Ah peduli amat. Peduli amat!
MULAI
MENGELAP KURSI.
Kursi
Da Vinci pun kalau tidak tiap hari digosok ….
HP
BERDIRING LAGI.
Ya
Allah!
X
KELABAKAN, PANIK, TAPI KEMUDIAN MERABA KANTONG BAJU DASTERNYA DAN MENEMUKAN HP.
Oooo,
Alhamdulillah, di sini rupanya dikau!
(MENGELUARKAN HP) Halo,
(SUARA DIBUAT SOPAN DAN MERDU) ya,
halo maaf siapa ini ya? O salah sambung, Pak. Apa? O, ya, betul ini rumah Pak
Rony. Masih tidur, Pak. Bukan, saya bukan pembantunya, saya istrinya. Betul
anak saya namanya Taksan, Bahasa Jepang artinya banyak, Pak. Lengkapnya Taksan
Harta. Apa? Ditangkap? Kenapa? Ya Allah, membawa narkoba 8 kilo? Sekarang di
mana ? Di Jalan Kucing Garong? Mau diproses? Tebusan? Supaya jangan diproses?
Berapa duit, Pak? Dua ratus juta? Masa Allah! Aduh, saya bukan orang kaya, Pak.
Keliru.
Itu kali Pak Roni tetangga saya. Beliau memang konglomerat, tapi tidak punya
anak. Ya betul nama anak saya Taksan. Jangan, jangan, ampun jangan disiksa
sampai menjerit-jerit begitu. Jangan, Pak, jangan, jangan disakiti, Pak. Ampun!
Apa? Tebusan? Saya tak punya duit, Pak? Lagian ini Minggu. Paling ATM, Pak.
Tapi maksimum pengambilan 10 juta, tadi sudah saya transfer 5 juta bayar uang
kuliah Taksan. Ooo, 5 juta Bapak mau? Tapi nanti saya bokek. Dua juta saja, ya,
Pak?! Baik, terima kasih, Pak. Tapi saya panggil dulu tetangga saya, Pak
Kapten, untuk mengawal. Dia masih punya pistol untuk jaga-jaga. Taksan juga
saya bangunin sekarang untuk nyopir. Ya, Taksan masih tidur, semalaman main
gim. Ya anak saya itu Taksaannn! Persisnya posisi Bapak dimana? Halo, halo,
haloo! Paaak! (DIPUTUS)
Rasain
lu! Pagi-pagi sudah mau bikin dosa! Masuk neraka lu!
MELIHAT
TAKSAN DATANG.
Udah,
Taksan, nggak jadi. Mama bisa selesaikan sendiri secara jantan, Tidur aja dulu.
HP
MEMANGGIL LAGI. X LANGSUNG MENGGERTAK.
Hei,
teroris! Biar mampus lu diembat
Pak Kapten! Pagi-pagi udah cuap-cuap! Setan lu! Genderuwo?! Awas ya, gue lapor
baru nyahok lu! (TERKEJUT. LALU MEMERIKSA SIAPA YANG MENELEPON. BENGONG)
Ya
Tuhan, maaf, Pak Menteri. Saya kira telepon gelap. Tadi ada orang mau menipu
saya mengatakan Taksan anak saya ditangkap. Padahal dia …. O begitu, Pak. Masih
tidur, Pak. Perlu saya bangunkan? Kalau begitu nanti saya sampaikan. Jadi, yang
tanda tangan suami saya saja? Baik. Jadi, bukan Bapak? Baik, Pak. Tapi sekali
lagi minta ma … (DIPUTUS) Sialan!
Nggak kelurahan, nggak menteri, kelakuannya tai kucing semua. Duitnya mau, yang
masuk bui, kita ….
SMS
MASUK.
Pinjaman
tanpa agunan, ah tai kucing! Cipoa semua! Nggak ada yang bener sekarang! Kenapa
sih yang beginian dibiarin, nggak diberantas aparat? Ini kan kriminal? Apa ada
kongkalikong? Sialan lu, goblok! Rayuan gombal gini kan kita semua udah nyahok!
Cerdas dikit dong! Dasar bandit! Iblis! Masuk neraka lu!
MENELEPON
TEMANNYA.
(RAMAH TAMAH) Selamat
pagi, Bu Kapten, posisi di mana? Jadi ke salon? Oh, OTW. Apa? Habis keramas?
Sunnah Nabi ni ye! (KETAWA) Pengantin
baru! Ah, kalau di sini pelurunya macet terus, Bu … (KETAWA LEBIH SERU) Apa? (KETAWA
NGAKAK KERAS) Obat kuat? Udah Seribu kali, Bu. Tangkur buaya kek, kuda laut
kek, sampai darah ular kobra! Tapi terus aja loyo seperti balon kempis! (KETAWA DIBUAT-BUAT) Betul, betul! (KETAWA DIBUAT-BUAT) Betul! (KETAWA DIBUAT-BUAT TAMBAH KERAS) Ya,
betul, betul, betul. (KETAWA DIBUAT-BUAT
LEBIH KERAS) Ya betul, setuju! (KETAWA
DIBUAT-BUAT PANJANG SAMPAI KESELEK) Maaf Bu, denger-denger Bu Kadir yang di
pojok itu ada main sama pembantunya! Ya, (BERBISIK)
lesbi dong! (TAMBAH BERBISIK) Ya!
Pak Kadir kurang apa, coba! Ganteng, kaya, banyak ibu-ibu di kantornya jatuh
cinta. (BERBISIK) Katanya itunya…
Apa? Ya! (KETAWA NGAKAK) Sampai Pak
Kadir kurus kering begitu! Betul, betul sekali, ya. (KETAWA LAGI, LALU SERIUS) Maaf, begini, kalau bisa saya …. (PUTUS) Bu, Bu Kapten! Kalau tidak
merepotkan …. (DIPUTUS LAGI) Sialan,
pasti dia kira mau pinjam duit. Dasar gom ….
MELEMPAR
HP KE KURSI. LALU MENGELAP KURSI. BERSENANDUNG. HP BUNYI LAGI.
(MENGGERTAK) Mat!
Kamu gila! Bagaimana sih mau kamu? Janjinya bulan depan, sekarang udah lima
kali bulan depan! Itu duit organisasi, tahu?! Ibu sakit kek, Nenek mampus kek,
mobil belum laku kek, itu kan bukan urusan gue! Kecuali elu yang mampus!
Pokoknya bulan depan belum elu balikin juga, kagak tahu dah, gue kirim debt collector biar dipotong barang elu! Ngarti?! (MEMATIKAN HP)
Sebel bisnis sama pribumi! Beda kalau sama ….
HP BUNYI LAGI. X TERKEJUR. MAU MEMATIKAN, TAK JADI.
(BICARA BERDESAH) John?
Ini kamu?
MENJAUH.
CARI POJOKAN AMAN.
(BERBISIK) Kenapa
Minggu-minggu nelpon? Kan aku sudah bilang jangan. Minggu, dia ada di rumah. Yes, I know, Aku juga kangen.
(LANGSUNG MEMBENTAK
TELEPON) Salah! Salah sambung, Pak!, Salah
sambung! S-a-l-a-h-s-a-m-b-u-n-g!
PURA-PURA
MEMATIKAN HUBUNGAN TELEPON. SUAMINYA LEWAT.
(MENEGUR SUAMINYA
MESRA) Tidur aja dulu, Papa, kan hari Minggu,
kasihan badan dan otakmu diperes terus tiap hari untuk menghidupi keluarga.
Mesin juga ada istirahatnya.
(BICARA DI TELEPON)
Kan udah saya bilangin ini bukan rumah Pak Egi! Anda kok ngotot?! Ya Tanya ke DPR
sana, kenapa mesti ke mari?!
MELONGOK
MEMERIKSA SUAMINYA SUDAH MASUK KAMAR.
(KEMBALI BERBISIK DI
HP. MANJA. BERDESAH) John, kamu masih di
situ, darling? Nanti kalau dah aman
aku pasti nelepon. Swear! Sama, aku
juga kangen banget, banget. Kapan kita bisa keemu, masak di dunia maya terus!
Muachh, muachh, muachhhh!. Ssst!
SUAMINYA
KEMBALI LEWAT.
Kenapa,
Papa? Kok bolak-balik ke belakang? Capek ya, semalaman kerja keras! Mama juga.
Nanti tak masakin gulai sumsum domba, biar kembali perkasa! (KETAWA GENIT)
(BERBISIK DI HP) Ssstt!
Dia ke kamar mandi lagi. Nanti kalau dia udah masuk kamar kita sambung lagi.
Sabar. Muaacchh. Muacchhh! Apa? Celana dalam? Pakai dong, masak tidak (GELI GENIT) Apa? Warnanya? Untuk apa?
Jorok ah! Pink!
SUAMINYA
MUNCUL. X TERKEJUT.
Ya
Allah, Papa bikin terkejut aja. Apa? Putih? Apa yang putih, Pa? Apa? Celana
dalam saya? (MEMERIKSA) Ya, Papa
betul! Putih. Mama baru ingat yang pink udah diganti dengan yang putih, habis
yang pink basah kena itu. (KETAWA BINAL) Kenapa
kok Papa tiba-tiba menebak warna celana dalam Mama? Apa? (TERKEJUT) Apa? Ya Tuhan, ampunnn! Jadi itu Papa? Yang tadi nelepon
itu Papa? Jadi, si John yang di facebook itu Papa, pakai nama dan foto samaran?
(MENJATUHKAN DIRI DI KURSI) Ya ampun!
Aku tertipu. (TERKEJUT. MENOLEH KE
SAMPING) Taksannn! Apa? Ya Tuhan! Petugas gelo yang yang minta tebusan itu kamu?! Itu kamu?! Minta ampun. HP
brengsek! (MEMBANTING HP KE LANTAI) Mulai
sekarang aku tidak mau main HP-HPan, main facebook, main twiter lagi!!
MENGINJAK-INJAK
HP. TAPI HP MASIH BISA BERDERING. X MELEMPARKAN HP KE PENONTON SAMBIL BERTERIAK
MEMAKI.
Tai
kucingggg!!!
X
DUDUK ANTENG, MEMANDANG PENONTON.
Bayang-bayang
itu membuat saya ogah main HP lagi dan masuk dunia maya! Biar aja dikatain aja
dikatain orang gaptek!
Jakarta, Jumat,
September 2015
IBU SEJATI
Karya: Putu Wijaya
Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi,
atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang yang telah khilaf, sesat, bejat,
buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka dalam
kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri.
Alasannya tak ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.
Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh
laporanku yang terus terang mengakui kesalahan Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya.
Banyak yang bilang kalau berterus terang mengaku dosa hukumannya ringan.
Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus
darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri? Siapa lagi yang bertugas mendera
putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk pacar sendiri
yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?
Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah
alpa tidak berhasil menjauhkan dia dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal.
Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau
bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa lagi yang akan bisa memaksa dia
bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera, asal sepantasnya,
agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.
Semoga peradilan masih memberikan kesempatan
generasi muda memperbaiki kesalahannya.
Penjara akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi
hukuman nanti semoga iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang
kembali ke jalan yang benar! Ya Allah, tolonglah ibu yang malang ini menumpas
setan yang menguasai jiwa Ujang!
Tetapi
malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar satu
keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib
musnah kata beliau lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu
diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai mati!
Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui
dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada ibu
membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku
sendirilah Iblis yang ganas.
Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu
menerima tudingan biadab, dengan sesal berkepanjangan, aku ibu yang kejam
berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun. Akulah yang harus
dihukum atas kebodohanku sendiri.
Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku
langsung tumbang. Sementara putraku yang malang itu besar jiwanya. Ia sedih
melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya dengan minyak
kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala
dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak
kembali. Ia sama sekali tidak megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak
menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak menggugat kebekuan hati
presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa nasibnya
malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa,
katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri teladan yang Ujang akan selalu
kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas keberanian ibu.
Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia
seorang berdosa, kau antar sendiri agar
dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu
agar tak ada lagi kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi
sejarah baru di negeri yang sedang digalau narkoba ini. Semoga lebih banyak
lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.
Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang
kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku merayap pulang. Tak sanggup
menatap kegagahan putraku. Tak sanggup
mengecilkan rasa berdosaku. Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu
aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan siang bersama ibu sebelum
dieksekusi.
Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama
yang sedih itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah
suapan pertama, tapi tetap tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam
sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.
Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku
tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu pun tetangga sudi menolong. Biar saja
perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega bunuh anak sendiri.
Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang
bertentangan dengan kemanusiaan!
Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda
kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir
untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya Allah, ampun! Aku terpekik
melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang ibu kota
ke tempat penembakan. Ujangggg!
Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata
dikokang untuk tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti
hidup ini. Otakku gelap memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar
mandi. Tak perlu taksi, tidak takut
terlambat macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta
kusebrangi sekejab mata. Di lapangan tembak kusaksikan senjata yang terhunus
menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di tunggu tak kunjung
terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-tiba keluar perintah: Turun
senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke tangsi.
Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah.
Biang kerok sejati pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan
terang. Ujang
putra ibu yang baik bersiul pulang ia beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh
oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan kebenaran.
Jakarta, Desmber. 2015
IBU SEJATI
Karya: Putu Wijaya
Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi,
atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang yang telah khilaf, sesat, bejat,
buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka dalam
kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri.
Alasannya tak ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.
Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh
laporanku yang terus terang mengakui kesalahan Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya.
Banyak yang bilang kalau berterus terang mengaku dosa hukumannya ringan.
Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus
darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri? Siapa lagi yang bertugas mendera
putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk pacar sendiri
yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?
Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah
alpa tidak berhasil menjauhkan dia dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal.
Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau
bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa lagi yang akan bisa memaksa dia
bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera, asal sepantasnya,
agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.
Semoga peradilan masih memberikan kesempatan
generasi muda memperbaiki kesalahannya.
Penjara akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi
hukuman nanti semoga iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang
kembali ke jalan yang benar! Ya Allah, tolonglah ibu yang malang ini menumpas
setan yang menguasai jiwa Ujang!
Tetapi
malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar satu
keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib
musnah kata beliau lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu
diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai mati!
Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui
dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada ibu
membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku
sendirilah Iblis yang ganas.
Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu
menerima tudingan biadab, dengan sesal berkepanjangan, aku ibu yang kejam
berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun. Akulah yang harus
dihukum atas kebodohanku sendiri.
Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku
langsung tumbang. Sementara putraku yang malang itu besar jiwanya. Ia sedih
melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya dengan minyak
kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala
dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak
kembali. Ia sama sekali tidak megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak
menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak menggugat kebekuan hati
presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa nasibnya
malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa,
katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri teladan yang Ujang akan selalu
kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas keberanian ibu.
Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia
seorang berdosa, kau antar sendiri agar
dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu
agar tak ada lagi kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi
sejarah baru di negeri yang sedang digalau narkoba ini. Semoga lebih banyak
lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.
Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang
kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku merayap pulang. Tak sanggup
menatap kegagahan putraku. Tak sanggup
mengecilkan rasa berdosaku. Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu
aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan siang bersama ibu sebelum
dieksekusi.
Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama
yang sedih itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah
suapan pertama, tapi tetap tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam
sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.
Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku
tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu pun tetangga sudi menolong. Biar saja
perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega bunuh anak sendiri.
Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang
bertentangan dengan kemanusiaan!
Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda
kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir
untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya Allah, ampun! Aku terpekik
melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang ibu kota
ke tempat penembakan. Ujangggg!
Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata
dikokang untuk tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti
hidup ini. Otakku gelap memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar
mandi. Tak perlu taksi, tidak takut
terlambat macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta
kusebrangi sekejab mata. Di lapangan tembak kusaksikan senjata yang terhunus
menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di tunggu tak kunjung
terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-tiba keluar perintah: Turun
senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke tangsi.
Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah.
Biang kerok sejati pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan
terang. Ujang
putra ibu yang baik bersiul pulang ia beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh
oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan kebenaran.
Jakarta, Desmber. 2015
KURSI
Karya : Putu Wijaya
SEBUAH
KURSI TERIKAT TAMBANG HINGGA BISA DITARIK, NAIK-TURUN.
POSISI
AWAL KURSI DIATAS.
Dimulai
dengan perebutan kursi.
DENGAN
GALAH PANJANG "MEMETIK" KURSI TURUN, LALU DIDUDUKI.
Bravo!
Ketika kursi sudah direbut, langsung diduduki, seperti milik sendiri. Kontan
pemiliknya mulai berubah pekerti.
BERUBAH
LAKU DAN SUARA.
Bukan
saja karena duduk di kursi memerlukan aturan-aturan, kebiasaan dan kelayakan
tertentu, bahkan juga bahasa dan kostum khusus, tetapi juga lantaran punya daya
serap luar biasa. Ada yang menyedot kontan, ada yang perlahan lahan. Tetapi
umumnya, kebanyakan setelah duduk di kursi, manusianya berubah menjadi makhluk
kursi.
MENGENAKAN
KOSTUM MAKHLUK KURSI.
Makhluk
kursi adalah manusia yang tidak Iagi hadir atas namanya sendiri, tetapi pribadi
makhluk kursi, sesuai dengan jenis kursinya. Meskipun namanya sama- sama kursi,
ada seribu satu macam kursi. Kursi malas, kursi untuk para pemalas. Kursi
makan, kursi buat orang kemaruk makan. Kursi pengantin, kursi yang menyulut
pertumpahan darah. Kursi goyang, buat nenek yang masih ingin digoyang. Kursi
tamu, kursi untuk memamerkan gengsi. Kursi listrik, kursi buat penghuni neraka.
Kursi anggota DPR, nah ini kursi best
seller yang paling laris diperebutkan, karena siapa yang duduk di atasnya
akan paling cepat jadi makhluk kursi.
Mahluk
kursi bukan manusia biasa. Tapi manusia yang di pantatnya ada kursi. Bukan
sembarang kursi, tapi kursi yang bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa
dilakukan oleh manusia biasa, karena kursí itu punya kaki tangan banyak.
Makhluk kursi punya tongkat untuk menggerakkan orang laín untuk melaksanakan
apa diinginkannya atas nama kepentingan masyarakat atawa rakyat. Dengan duduk
di kursi, makhluk kursi adalah bangsawan elektronik. Dihormati, didahulukan dan
diberikan prioritas, fasilitas VIP. Hidupnya, kenyamanan, keluarganya,
dilindungi oleh kursi. Kesejahteraannya tidak terancam, karena akan memalukan rakyat,
bila abdi rakyat itu naik angkot dan makan di Warteg. Apalagi beol dan sikat
gigi di kali. Mereka harus gendut, bahenol dan banyak main SMS supaya RUU tidak
ngetem tahunan. Contohnya, ini, lihat saya!
MEMAKAI
SESUATU ATRIBUT WAKIL RAKYAT.
Makhluk
kursi pada awalnya manusia sederhana. Banyak yang dari kampung miskin. Mereka
rendah hati, sangat terbuka, tapi tersulap drastis setelah jadi makhluk kursi,
lantaran diembat oleh kursinya sendiri. Bahkan begitu jauh beda dari aslinya,
sehingga mereka bahkan tak dikenali oleh masa lalunya sendiri.
MENAMBAH
ASESORIS.
Perubahan
itu tentu saja mereka sadari. Bahkan dengan sengaja dan antusias mereka lakukan
karena memang itulah target nomor satunya, yaitu mengubah nasib! Agar lebih
bergengsi dan nyaman.
Perubahan
itu awalnya sangat bertentangan dengan hati nurani yang bersangkutan. Bahkan
yang bersangkutan sempat menentangnya mati matian. Tapi justru karena mau
menentang itulah agenda pokoknya ikut rame-rame rebutan kursi. Tapi apa daya,
setelah kursi bisa dikuasai, sihir kursi membetotnya perlahan-lahan.
KURSI
MENGGELEPAR.
Ternyata
bukan hanya makhluk kursi bernyawa, kursi yang benda mati itupun hidup. Kursi
punya ambisi! Sergapan ambisinya halus, lembut, begitu sopan, sabar, mesra,
bahkan sensual dan indah. Mata hati yang dikepretnya bergeser perlahan-lahan,
melemas, menerima aturan main yang baru. Bagaimana caranya bicara, apa yang
harus diucapkan, apa yang pura-pura tak didengar, bagaimana cara melihat yang
tak ada dan apa yang tak usah dilihat meskipun mencolok mata, apa yang
pura-pura lupa padahal harus dilakukan. Semua ada tuntunan bakunya dalam silabus
yang komplet.
Makhluk
kursi harus mampu menyesuaikan diri. Lalu mereka belajar memaafkan kejahatannya
sendiri dengan membahasakan bahwa pengkhianatannya adalah taktik dan strategi
berkelit, agar bisa bertahan terus, berjuang untuk membudayakan kursi, yang
pada akhirnya nanti ambruk kalau diduduki orang lain.
Untuk
keperluan merebut kursi, diperkirakan belanjanya mulai dari 10 M. Sebuah harga yang
tak masuk akal bagi kebanyakan rakyat jelata. Beberapa kali hidup kembali pun,
banyak orang tak akan mampu mengumpulkan sebanyak itu. setengahnya pun tidak.
Sebetulnya, banyak dari mereka, makhluk kursi itu, juga tidak mampu. Untungnya
ada sponsor.
Bagi
yang melihat kursi sebagai kuda sembrani naik ke surga dunia, memang
matematikanya beda! Di mata pedagang,
kursi adalah peluang empuk. Kalau ada jaminan pasti menang, berapa pun uang
sajennya akan ditutup. Sekarang abad sponsor, sejatinya penyandang danalah yang
bertarung. Makhluk-makhluk kursi itu hanya wayangnya. Akibatnya, kemenangan
dikuntit oleh bagaimana bayar utang di belakang. Tapi itu perkara nanti. Yang penting
rebut kursi, menang dulu!
MENGGEREK
KURSI.
Ketika
perhelatan akbar perebutan kursi digelar, berbagai tontonan dimainkan hiruk
pikuk. Pemilihan yang merupakan proses melahirkan pemimpin, menjadi kontes
bakul jamu adu penampilan jual janji dan mimpi. Dan masyarakat yang suka
hiburan, serta butuh kegiatan, karena kebanyakan pengangguran, menyerbu menjadi
peserta dengan semangat menggebu-gebu.
KURSI
DIPEREBUTKAN, DIPETIK BAGAI BUAH, PAKAI GALAH PANJANG,
Perebutan
kursi menjadi perang tanding kekuatan, yang memerlukan tidak sedikit uang dan
seringkali juga nyawa. Yang paling menyedihkan adalah ketika perlehatan itu
berakhir, setelah ketahuan siapa yang berhak menduduki kursi, yang kalah protes,
minta permainan diulang!
BERHASlL
MENGGAET KURSI.
Akhirnya,
menang! Makhluk kursi sering adalah sisa-sisa perjuangan mati-matian perebutan
kursi. Begitu kursi diduduki, tak terkecuali juga Oleh pantatnya sendiri, energinya
habis. Pertarungan sudah dianggap tuntas, Hari-hari selanjutnya adalah merayakan
dan menikmati kursi. Sedangkan timbunan beban kerja yang menjadi tugas sebagai
makhluk kursi, dilupakan.
Tahun
pertama, proses belajar, Banyak salah, wajar. Tahun kedua, mulai mencium dan
menjajaki peluang. Tahun ketiga, ngebut bayar utang dan menabung untuk masa depan.
Dua tahun sisanya, memasuki tahun kecemasan. Takut kehilangan kursi. Harus
sudah mulai ngatur siasat, taktik, strategi bagaimana caranya agar kursi tidak
jatuh ke pantat orang lain.
KURSI
MAU DISEMBUNYIKAN, TAPI KURSI MENOLAK, AKHIRNYA KURSI DIKEREK NAIK.
Untuk
itu kembali diperlukan duit. Dengan berbagai cara kursi disembunyikan (KURSI DITUTUPI KAIN) Peluang terobosan
lawan, dipalang. (KURSI DITEMPEL TULISAN
"BUKAN KURSI") Dana dikeduk serabutan. (MENGEDARKAN BESEK/KALENG
SUMBANGAN) Makhluk kursi gentayangan keliling lapangan jual kecap. Pakai segala
macam asesoris, parfum, kosmetika supaya kelihatan seksi untuk dipilih.
(MEMOLES MUKA. PUTIH) Artis, media, paranormal dan tak perlu malu metode
klasik, jampi-jampi dukun dan para prokem dikerahkan.
Kursi
kelihatan nrimo pasrah saja disatroni, tapi sejatinya, bukan kursi yang terus
ditunggangi, tapi justru kursi yang sudah mengembat habis manusia.
KURSI
JATUH MENIMPA.
Aduh!
Begini jadinya kalau sudah tak punya kursi!
JAKARTA. 20 MARET 2012
PUTRI IBU
Karya
: Putu Wijaya
MONOLOG
INI BISA
DIMAINKAN OLEH SATU ATAU DUA PEMAIN, DI DUA ATAU SATU SET
1
DEPAN
PINTU
PUTRI
IBU PULANG, TETAPI DI DEPAN PINTU TERTEGUN, TAKUT MASUK
Ibu,
ini aku. Putrimu yang kabur lima tahun lalu. Dibawa makelar dengan janji palsu.
Diiming-imingi akan meraup uang dari dunia baru, untuk masa depan kita yang
gemerlapan. Tapi di ibu kota aku baru tahu itu semua hanya bujuk rayu. Karena
terburu nafsu aku tertipu. Bukan dolar kutumpuk di saku tapi dosa besar yang
membuat malu.
Yang
putih telah menjadi hitam. Yang hitam bertambah kusam. Aku teringat pesanmu
yang dalam setiap malam sebelum tidur. Untuk apa berlimpah rezeki jahanam, bila
hati tak tenteram? Tapi nyatanya kini aku terbenam jadi wanita malam.
Inilah putrimu, ibu. Pulang basah kuyup
dililit sedu sedan di pintumu. Izinkan aku sebentar sujud di telapak kakimu
karena telah membuat kuyup mata, perih rasa dan gelap pikiranmu.
Ya
allah, rambut di kepalamu yang kau pakai menggosok luka akibat aku waktu bocah
jatuh melangkah, telah tipis dan putih semua. Pandanganmu pun kabur. Tapi
telingamu tetap ingat suara telapak kakiku. Dan nfasku tercium. Bahkan isak
tangisku kau hafal. Begitu suaraku terdengar, wajahmu basah, kau tahu putrimu telah pulang tetapi kalah.
Ibu,
kutuklah putrimu yang sesat ini. Pukul aku dengan kata-kata keras. Jangan
maafkan kesalahanku, karena aku pun sangat benci pada apa yang telah kulakukan. Tapi berikan aku
kesempatan, sedetik saja, biarkan aku
menghapus air mata dukamu. Biarkan aku menemani sisa hidupmu, walau hanya
sekejap. Perkenankan aku merawat, menghibur dan mencintaimu. Menyayangi dengan
sisa kemampuanku agar tak lagi setiap malam kau hanya tersedu.
Inilah
putrimu, ibu.
telah pulang dari rantau yang berduri. Tetapi
tubuhmu telah keburu kaku. Bisu tak lagi dengar pengakuanku. Andaikan sehari
lebih cepat, pasti masih sempat kutangkap bisikanmu. Masih akan sempat kau
ampuni dosaku. Ibu, buka sebentar saja matamu yang terkatup itu. Lihat putrimu
kembali, terbakar sesal dililit dosa. Apa guna rezeki kalau kau tak ada.
Tinggal doa. Semoga ibu tenang jauh disana. Dan aku bersumpah tobat
selama-lamanya. Kecuali (TERKEJUT)
PINTU.
TERBUKA. IA MELIHAT IBU. DAN IA JATUH PINGSAN.
2
DI
BELAKANG PINTU.
IBU
BERDIRI DI PINTU MELIHAT PUTRINYA KEMBALI.
Anakku,
buah hati belahan kalbu. Subuh itu, ketika kamu kabur dari ibu dengan
tinggalkan sajadah kesayanganmu, serta surat pendek tekadmu menjual diri di ibu
kota, ibu menjerit tertelan luka.
Bukan
ibu tak paham hasratmu berjuang. Bukan tak setuju perempuan harus maju. Bukan
tak bangga bila kamu mampu meraup uang untuk mengangkat nasib kita yang malang.
Ibu kenal api yang menyala dalam darahmu. Begitulah dulu bapakmu mempesona ibu.
Tak
hanya lelaki, perempuan juga harus mampu menegakkan benang basah. Berpisah tak
berarti terpisah. Kamu tidak pernah pergi. Semakin kamu jauh, semakin kamu berlabuh.
Semakin kamu hilang, semakin kamu pulang. Semakin kamu pergi, semakin kamu
kembali ke hati ibu.
Seperti
bapakmu, lelaki jantan yang ketagihan melabrak nasib, kamu pun sama. Hanya saja
tak kamu berikan ibu kesempatan memelukmu karena kamu ingin membuktikan kamu
bisa mandiri.
Ah,
setahun Ibu menangis, menunggu beritamu. Dua tahun tak ada kabar. Ibu pikir berarti kamu gagal,
karena surat pasti mengalir kalau kamu beruntung. Seperti Suci, anak tetangga
itu, SMS-nya mengalir tiap Minggu. Ibunya
sudah ia belikan sawah, kambing dan HP.
Tetapi
jangan salah, Ibu tidak ingin membanding-bandingkan. Anak tetangga adalah anak
tetangga, anak Ibu tetap anak Ibu, apapun yang terjadi. Ditambah berapapun
tidak akan Ibu tukar. Bagaimana pun anak Ibu kini, apapun yang tak kuharap
terjadi, anak Ibu tetap janin IBU yang kugendong sembilan bulan. Ibu susui kamu
dua tahun sambil menggarap sawah yang belum disita rumah gadai. Sekali anakku kamu tetap anakku.
Jangan
pikirkan yang ta perlu dipikir. Renungkan saja yang pasti berguna. Lapangkan
dada menerima apa adanya. Pulanglah peluk ibu sekali lagi. Hangat tubuhmu akan
kujadikan selimut. Suaramu akan membunuh sepi. Kehadiranmu akan mencuci habis
perihku.
Jangan
ragu-ragu nanti kamu tersandung oleh kakimu sendiri. Pulanglah sekali saja
Apa
pun yang terjadi. Ampuni ibu, yang telah mengumpatmu laknat. Pulanglah, tengok
ibu yang sudah berkarat ini. Ibu akan mandi bahagia, kalau saja yakin kamu
masih ada. Tetapi (TERKEJUT)
TERDENGAR
BUNYI TEMBAKAN
3
DEPAN PINTU
PUTRI
IBU YANG REBAH ITU BANGUN, SEPERTI TERJAGA KELUAR DARI MIMPINYA DIBANGUNKAN
OLEH KETUKAN PINTU.
Siapakah
itu mengetuk di malam bisu, masuk ke relung hati yang terkatup, menghampiriku
dengan langkah yang kukenal, lalu duduk mengusap kepalaku. Tanganmu tak asing.
Harum rambutmu menamparku ke masa bocah.
Kaukah
itu, ibu yang tanpa kuminta
datang mendampingi.
Yang selalu hadir setiap aku terpuruk. Mengucap hanya sepatah kata tapi yang
tak terlupakan, yang selalu menegakkan kembali kepalaku dari kekalahan. Apalagi
pada malam ini!
Kaukah
itu, Ibu? Sosok yang tak pernah kupikirkan, tapi tak pernah lupa memikirkanku.
Kaukah
itu, Ibu? Yang selalu berdoa untukku tapi tak berhasil menembus tembok yang kubangun
dalam kesesatanku, yang terus berdoa seakan yakin kesia-siaan tak ada batas
jenuhnya.
Aku
sangat malu bertahun tak memberimu kabar. Tapi kau tak pernah henti
menyanyangi.
Walau
hanya kata-kata, tetapi itulah sesungguhnya yang telah membuatku tabah.
Kapan
saja, apa pun kesalahanku, kau selalu mengakhirinya dengan sayang. Dan hari terakhir itu, ketika untuk
penghabisan kalinya kusakiti hatimu, sebelum pergi. Ketika aku menyesali kenapa kau begitu terima saja hidup
papa jadi istri petani miskin padahal kecantikanmu dulu bisa berbuat yang lebih
nyaman.
Waktu
itu Ibu menangis, bukan karena menyesal oleh umpatanku, tapi kau teringat ibumu
sendiri dulu. Nenekku itu juga pernah menangis karena kau marah terpaksa putus
sekolah gara-gara harus bantu dia di sawah.
Lalu
kau ulangi lagi apa yang dikatakan Nenek:
Anakku,
bagaimana pun pedihnya hidup, ingatlah kamu masih punya Ibu yang akan selalu
menemanimu ke mana pun kau pergi ibu terbawa. Apa pun yang menimpa kita
berbagi. Bila kamu tumbang ibu ikut perih. Bila kamu perih Ibu yang paling
sedih. Bertahanlah dengan tabah. Semua akhirnya akan lewat juga. Yang di Atas itu sudah mengaturnya.
Demikianlah detik-detik terakhir menghampiri. Kurasa
tangan Ibu menuntunku sejuk gemetar
di sekujur jiwaku
reda kalau sepuluh laras
senapan itu nanti serentak menembak Aku
telah pasrah, aku tak marah presiden
tak berkenan memberikan grasi Eksekusi
mati pantas bagi putri ibu yang sesat ini.
MEMASANG
PENUTUP MATA. BERSIAP. BERDOA. ABA-ABA SUARA. 10 SENJATA DITEMBAKKAN. PUTRI IBU
TUMBANG
Jakarta, 16 September 2015
MAK
Karya : Putu Wijaya
MAK MENATAP KORBAN BERISI GAMBAR/BERITA ANAKNYA
TERBUNUH DIJAKARTA. IA TIDAK PERCAYA. IA MELETAKKAN KORBAN DISAMPING BUNTALAN
BERISI BARANG-BARANG PRIBADI MILIK ALMARHUM YANG DI TEMUKAN DI KONTRAKANNYA.
SETELAH BENGONG DIA NGOMONG
Mayat terapung dikali ciliwung? Tangannya cedera?
Mukanya tak bisa dikenali lagi karena siksaan? Tapi di lehernya ada kalung yang
menjelaskan bahwa ia adalah Marsihati, anak Mak? Mak tidak percaya!
MENGEMBALIKAN KORAN.
Tak mungkin hanya karena ada kalung di lehernya yang
bertuliskan Marsihati berarti anak Mak sudah mati. Banyak orang yang bernama
marsihati. Ini pasti keliru. Marsih, anak Mak, tidak pernah memakai kalung.
Kalung emas lagi. Dia orang yang sederhana. Dari kecil Mak mengajarkannya
kesederhanaan dan prihatin.
MERAIH BUNTALAN, LALU MEMERIKSA. MENGELUARKAN
BEBERAPA BUAH BARANG. ADA PAKAIAN ADA SANDAL.
Dua tahun yang lalu, waktu ia pamitan ke Jakarta
bersama Zuleha, ia memang memakai pakaian dan klompen ini. Ini memang
kepunyaannya. Tapi Mak tidak percaya kalau orang yang terbunuh itu Marsih.
Mengapa ia sampai terbunuh? Menurut dukun yang meramalnya waktu lahir, Marsih
masih akan membawa rezeki pada Mak. Umurnya akan panjang. Jadi tak mungkin!
MENEMUKAN FOTO. TERTEGUN.
Tapi Mak tak menolak kalau benar Marsih menninggal.
Buat apa Mak menolak? Nasib di tangan Tuhan. Kalau Tuhan sudah mengatakan
Marsih mati, biar kata dukun apa, dia juga akan mati.dan mak mesti menerima.
Tapi sekarang ini hati Mak mengatakan Marsi masih hidup. Percayalah, yang mati
itu bukan Marsih.
MENYUGUHKAN SEGELAS AIR PUTIH
Silakan minum. Mak tidak punya apa-apa hanya air putih. Nanti satu
ketika akan jelas bahwa Marsih hidup. Marsih ke Jakarta untuk mencari rezeki. Barangkali sekarang belum berhasil.
Tapi ia akan pulang nanti. Mak masih sabar menunggu sampai dua-tiga tahun ini.
Dan Mak terima semua pakaian Marsih ini, sebab ini memang pakaiannya.
Terimaakasih mak ucapkan atas berita dan jerih payah sampean membawa semua barang ini pada Mak.
Semoga tuhan membalas kebaikan hati sampean.
BEBERAPA TETANGGA DATANG. MAK BERDIRI.
Mari masuk. Mari. Tidak ada apa-apa. Bapak ini
menyampaikan kabar dari Jakarta. Ya, Marsih belum pulang. Ada beritanya sudah
meninggal, tapi Mak tidak percaya. Itu orang lain. Kebetulan namanya sama. Mak
yakin Marsih masih hidup. Ya. Mak baik-baik saja.
KEMBALI MELADENI TAMUNYA.
Ya, begitulah. Banyak godaan buat orang miskin. Tapi
Mak tetap tabah. Marsih akan kembali nanti. Memang marsih seharusnya tidak
berangkat ke Jakarta. Apa yang dicari di Jakarta? Di sini saja ia bisa memperoleh suami yang baik. Banyak yang
senang, semuanya ingin kawin dengan dia. Bahkan, Dul yang punya bengkel itu
juga sudah terang-terangan ingin melamarnya, tapi kok dia pergi juga.
TIBA-TIBA MAK MENANGIS. IA MENGHAPUS AIR MATANYA
DENGAN UJUNG KAINNYA.
Betul, dia sudah siap-siap menabung untuk kawinnya.
Tahunya Marsih pergi ke kota sebelum sempat di lamar, kata Dul malam itu di
warung kopi. Dia juga terkejut mendengar berita kematian Marsih. Padahal dia
dulu pernah benci, boleh dibilang hamper dendam. Dia anggap Marsih
mempermainkannya. Baik-baik begitu ternyata tidak ada apa-apanya. Untung saja
dia belum terlanjur melamar. Coba kalau, wah bisa malu, kata si Dul. Mak jadi kasihan
sama si Dul. Anak itu sebenarnya hatinya baik, hanya badannya yang tidak cocok
dengan Marsih.
TERINGAT PADA DUL
Barangkali karena pikirannya rusak, Dul malam itu
minum bir. Sebenarnya dia diam-diam masih mengharapkan Marsih akan kembali.
Begitu kembali akan dilamarnya, sebelum orang lain mendahului. Tapi tadi pagi
ada berita Maarsih meninggal, terbunuh di kali Ciliwung. Jadi, saya betul-betul
patah hati sekarang, Mak, kata si Dul. Sebab tidak ada orang yang seperti Marsih lagi di kampung kita ini. Cantik, tetapi mau
bersahabat dengan siapa saja. Baik kepada semua orang. Keibuan lagi. Ya kan,
Mak?!
MAK MENGANGGUK.
Dia tidak
mengerti mengapa orang sebaik Marsih bisa
mati di bunuh. Siapa yang tega membunuh orang yang sebaik dan secantik Marsih,
Mak?
MAK MEMBUJUK DUL
Sudahlah, Dul. Orang baik itu memang suka jadi
rebutan. Dianya baik, tapi orang lain tidak suka dia baik pada semua orang.
Mungkin ada yang iri hati, ada yang tidak senang melihat anak Mak baik sama
semua orang. Jadi, begitulah. Walhasil nasib manusia ditangan Tuhan, Dul.
Sabarkan hatimu.
Aku akan ke Jakarta untuk cari berita supaya lebih
jelas, Mak.
Jangan, Dul. Kalau pembunuhnya nanti salah sangka,
mengira kamu mau nuntut balas, kamu malahan bisa digoroknya juga.
Dul jadi bengong.
Mak nyesel juga ngomong begitu. Bukan begitu maksud
Mak. Mak Cuma usaha jangan sampai dul nyusul anak Mak ke Jakarta. Nanti
ngerecokin Marsih yang lagi berjuang untuk keluarga. Untungnya Dul paham. Betul
juga, katanya. Sudahlah, kalau memang begini kesudahannya, apa mau dikata. Dul
kasihan saja sama Mak.
Lho jangan, Dul. Mak yang kasihan sama kamu.
Kasihanilah dirimu. Kalau kamu ketemu anak Mak sekarang, pasti akan kaget. Kata
Zulaeha, namanya bukan marsih lagi tapi ganti jadi Mery. Tidak akan cocok lagi
diajak mandi dan berak di kali. Dia sudah kaya, Dul.
MAK JALAN.
Mak jadi inget waktu masih muda. Mak juga cantik
seperti Marsih. Boleh dikata Mak kembang kampong. Seperti bunga dirubung lebah.
Tapi sayang
kelakuan
Mak seperti Marsih sekarang, kurang hati-hati. Kecantikan itu berbahaya buat
yang punya sendiri karena kalau kurang tahu atau terlalu tahu bisa menjerumuskan. Akibatnya Mak menyakitkan hati banyak lelaki. Akhirnya
bukan jadi kaya malahan Mak jatuh pada penjudi dan pemabuk yang kemudian hilang
sebelum Marsih lahir. Sejak itu mak bertobat, jadi orang baik-baik. Tapi yang
sudah kejadian, tidak bisa
dihapus. Semua ingat, Mak pernah jadi pusat kebencian kampong dan dicap sebagai perempuan nakal. Sekarang sebutannya
WTS alias pelacur. Tapi kan semua pekerjaan mulia.
KEMBALI PADA SI DUL.
Sudahlah, Dul, lupakan saja Marsih. Besok datanglah
kau pada Nusumi, pacarmu yang selalu nguber-nguber minta dinikahi itu. Kawin
sajalah sebelum kau jadi jejaka tua. Buat apa hasil bengkelmu berlimpah kalau
tidak punya keturunan.
Ya, buat apa ya, Mak. Sebenarnya Dul kesini mau
lapor, bukannya Dul tidak setia menunggu Marsih. Setia kok. Tapi karna dia
sudah dikabarkan mati, buat apa Dul tungguin lagi. Jadi, malam Minggu ini Dul
mau nikah sama Nusumi dan Ijah. Ya, dua sekalian, biar tidak usah bikin-bikin
hajatan lagi nanti.
MAK TERMENUNG.
Kasihan si Dul. Di Jakarta, Marsihati masih segar
bugar. Tapi kini dia bukan lagi anak Mak. Bukan lagi temannya Zuleha yang ngajak anak Mak kabur ke Jakarta hanya
berbekal klompen dan kebaya yang Mak beli waktu hari raya sebelum dia kabur
itu.
MELADENI TAMUNYA YANG MAU PAMITAN.
Ya sudah. Mak terimakasih. Sampean sudah jauh-jauh
turun dari Jakarta bawa kabar kabur itu. (KETAWA) Mungkin tidak ada berita,
jadi anak Mak yang diobok-obok. Tak apa. Itu tandanya Marsih sudah tenar. Nanti
kalau pulang tak bilangin, itu pakaian nya sudah sampean antar. Ya, hati-hati,
sekarang banyak begal. Ini buat ongkos (MEROGOH KE BAWAH KUTANGNYA, TAPI HANYA
ADA BUNGKUS KOYOK) Lho, tadi rasanya masih ada.
KEMBALI DUDUK DEKAT BUNTALAN.
Ini kok
ditinggal. O ya, ini punya Marsih.
MENGELUARKAN ISI BUNTALAN: KEBAYA, KLOMPEN, SEPATU
LARS, TAS, BEDAK, GINCU, DLL.
Kebaya ini pasti sering dipakai, baunya bau anak
Mak. (MEMAKAI KEBAYA) Betul. Mak kalau kangen Marsih pakai kebaya ini tidur
karena ada bau Marsih. Tidak pernah Marsih cuci supaya baunya tidak hilang.
(KETAWA) Bohong, ngaku saja kamu malas, Sih. Ini apa? Ini sepatu lars. Kalau
becek kaki tidak kotor. Boleh juga untuk nendang anjing. (KETAWA) Ini? Ini
untuk gaul. Banyak sekali perabotanmu, Sih.
Itu untuk bersaing, Mak, orang lain lebih heboh lagi.
Ah, kamu sudah cantik Marsih, jangan kebanyakan
bumbu. Masakan kebanyakan bumbu hilang rasanya.
Masakan barang mati, Mak, badan kita kan barang
hidup!
Ya sudah!
MAK MEMAKAI BARANG-BARANG MARSIH. LALU BERJALAN KE
LUAR.
Mau kemana kamu, baru datang.
Mau silaturahmi ke tetangga, Marsih kan banyak dosa.
Jangan! Nanti ketemu si Dul!
Memang itu maunya, Mak.
Jangan! Nanti diajak kawin! Istrinya sudah dua!
Biarin, Mak,biar genap
tiga. Ganjil kan lebih baik dari genap. Kalau berantem ada yang jadi juri!
(KETAWA)
Marsihatiiiiii! (KETAWA DAN KELUAR)
Jakarta,1980,1981,2016
Marsihatiiiiii! (KETAWA DAN KELUAR)
Jakarta,1980,1981,2016
ZOMBI
Karya : Putu Wijaya
1.
Bupati
yang sedang lari pagi dikejar ajudannya. Pak Bupati, maaf gawat, ada laporan Kades
yang di kaki Gunung Bingung, bingung. Kepala salah satu warganya yang adalah
suaminya sendiri, hilang!
Apa?
Suaminya
itu memang sudah kena serangan aneh, Pak. Setiap dia tidur nyenyak kepalanya
lepas dari badannya lalu terbang ke mana-mana. Sudah sering terlambat pulang.
Beliau sudah sering pontang-panting mencari. Kadang ketemu
lagi nyangkut di pohon beringin. Kadang dikepung
anjing sehingga tak berani beranjak. Kadang terjebak ngumpet di pancuran
mungkin lupa waktu ngintip orang mandi. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya,
sudah seminggu belum pulang. Semua penduduk sudah turun tangan mencari, tapi
belum ketemu. sekarang Kepala Desa mau menghadap Bapak, minta solusi. Soalnya
badan suaminya sudah tidak kuat, seminggu tidak bisa makan.
Ya
sudah, kamu belikan sate kambing biar darahnya lancar.
Lho,
jangankan satenya, kambingnya juga mereka punya ratusan, Pak. Dimasak apa juga
mereka sanggup. Tapi bagaimana dia bisa makan kalau mulutnya tak ada? Ke mana?
Ya kan ngerumpi ke mana begitu ikut kepalanya!
Oooo!
Bupati baru terkejut. Berapa orang yang kepalanya suka over akting begitu?
Hanya satu kan?!
Memang
baru satu, Pak. Tapi para pengamat sudah memprediksi, kalau tidak diselesaikan
tuntas secepatnya, bisa menjalar dan tidak kecil kemungkinan bisa menular
kemari
O,
kalau kecil kemungkinan bisa menular kemari, biarkan saja!
Bukan kecil begitu, Pak! Coba buka dulu
headset Bapak! Nah! Saya tadi bilang, tidak kecil kemungkinan, tidak kecil
kemungkinan, kosok balinya besar kemungkinan, bisa menjalar ke mari menjangkiti
kita, Pak! Aduh!
Kenapa aduh?
Kenapa aduh?
Leher
saya suka keselek sekarang, Pak.
Aduh,
sana cepat periksa ke UGD, mungkin kamu sudah terinfeksi. Pakai BPJS kamu!
Gratis!
Waduh,
saya belum didaftarkan, Pak.
Goblok!
Cepet daftar sekarang, nanti kepalamu keburu terbang.
Ya
Tuhan, Bapak betul, semalam sudah terbang, Pak dan sampai sekarang belum
kembali.
Apa?
Gila kamu! Belum apa-apa sudah ngelantur kamu! Kepalamu masih ada begitu,
klimis lagi. Habis dicukur ya?
Maaf,
Pak Bupati, saya minta ampun! İni memang kepala ajudan Bapak, adik saya. Ya,
adik kandung saya. Saya pinjam sebentar, mumpung dia masih tidur. Tapi dari
leher ke bawah ini saya. Itu tadi laporan adik saya campur dengan laporan saya,
warga Bapak yang sudah kehilangan kepala dua hari. Kepala saya sudah dua hari
lebih, tepatnya sudah 30 jam kabur, Pak! Tolong saya! Apa solusinya, Pak
Bupati? Aduh! Ya Tuhan, maaf! Maaf! Maaf! Masih terlalu pagi, mata saya kurang
awas. Maaf, Bapak ini Pak Bupati bukan? Kepala Bapak saya kenal, betul wajah
Pak Bupati, tapi dari leher ke bawah kok seperti tukang kebun Bapak yang di
luaran merangkap jadi tukang kredit lintah darat yang suka joging itu?! Ya, itü
tadi saya
lihat kepalanya bengong kehilangan
badannya. Tapi, aduh, ampun, maaf, ini kepala Bapak yang sedang pakai tubuh
rakyat atau, maaf, kepala Bapak yang dipakai tukang kebun lintah darat itu?
2
Kepala Desa itu ternyata seorang
perempuan berbadan sangat seksi.
Saya sudah memimpin deşa dua periode, Pak Bupati. Kepemimpinan saya diterima rakyat dan berhasil. Desa makmur, maju. Ekspor kami tiap tahun meningkat.
Ekspor apa?
TKİ dan TKW ke Timur Tengah dan Timur Jauh. Rakyat takut karena calon Kades baru haluan politiknya beda. Dia mau melarang eksistensi pahlawan pengumpul devisa digalakkan. Itu berarti deşa bisa bangkrut! Karena itü saya mendorong suami saya majü pilkades. Rakyat menyambut. Tapi bagaimana mungkin suarni saya bisa menang kalau kepalanya suka gentayangan. İni sudah satu bulan hilang, pak Bupati!
Saya sudah memimpin deşa dua periode, Pak Bupati. Kepemimpinan saya diterima rakyat dan berhasil. Desa makmur, maju. Ekspor kami tiap tahun meningkat.
Ekspor apa?
TKİ dan TKW ke Timur Tengah dan Timur Jauh. Rakyat takut karena calon Kades baru haluan politiknya beda. Dia mau melarang eksistensi pahlawan pengumpul devisa digalakkan. Itu berarti deşa bisa bangkrut! Karena itü saya mendorong suami saya majü pilkades. Rakyat menyambut. Tapi bagaimana mungkin suarni saya bisa menang kalau kepalanya suka gentayangan. İni sudah satu bulan hilang, pak Bupati!
Lho, katanya baru seminggu!
Betul! Kalau hitungan hari, memang baru 7 hari. Dia pergi tanggal 23 Juli, jadi hari ini tepat satu minggu. Tapi kita sekarang kan sudah masuk Agustus. Berarti satu bulan? Betul, Pak Bupati, saya bicara formal saja. Sudah satu bulan karni kelimpungan mencari belum ketemu sampai detik ini saya belum dapat lampu hijau dari rumah. Praktis kita sudah kalah satu set, Pak Bupati. Kalau Bapak tidak cepat bertindak, fatal, kita sudah di pinggir jurang, pasti akan kalah, Pak!
Tenang, dalam perjuangan, kekalahan setelah berjuang
habis-habisan adalah janji kemenangan. Karena dengan kekalahan itü kita akan
beringas, bersiap lebih kejam, sehingga kemenangan kita nanti kemenangan telak.
Daripada maksamaksain menang sekarang dalam kondisi rentan, paling banter
menangnya adu penalti dengan skor tipis. Michael Kompos, pengamat bola di
Tibet. Ha-ha-ha!
Maaf, Pak Bupati! Saya sudah sebulan tidak main bola, Pak! Yang jelas, kalau kami sampai kalah, berarti kami juga tidak bisa mendukung pencalonan kedua Bapak dalam pilkada. Akhir kami akan menjadi akhir Bapak. itü tragis. Padahal kepemimpinan Bapak saat ini sangat kita perlukan. Bapak pelopor pencitraan kita di mata dunia, Bapaklah pendobrak feodalisme baru dan budaya korupsi, pembasmi narkoba, penyuntikan humaniora dalam politik pendidikan. Pencipta kerukunan, damai dalam perbedaan, anti anarkisme, nepotisme, radikalisme, diskriminasi, pejuang emansipasi, kebebasan berpendapat dan
Stop!
Betul! Kalau hitungan hari, memang baru 7 hari. Dia pergi tanggal 23 Juli, jadi hari ini tepat satu minggu. Tapi kita sekarang kan sudah masuk Agustus. Berarti satu bulan? Betul, Pak Bupati, saya bicara formal saja. Sudah satu bulan karni kelimpungan mencari belum ketemu sampai detik ini saya belum dapat lampu hijau dari rumah. Praktis kita sudah kalah satu set, Pak Bupati. Kalau Bapak tidak cepat bertindak, fatal, kita sudah di pinggir jurang, pasti akan kalah, Pak!
Maaf, Pak Bupati! Saya sudah sebulan tidak main bola, Pak! Yang jelas, kalau kami sampai kalah, berarti kami juga tidak bisa mendukung pencalonan kedua Bapak dalam pilkada. Akhir kami akan menjadi akhir Bapak. itü tragis. Padahal kepemimpinan Bapak saat ini sangat kita perlukan. Bapak pelopor pencitraan kita di mata dunia, Bapaklah pendobrak feodalisme baru dan budaya korupsi, pembasmi narkoba, penyuntikan humaniora dalam politik pendidikan. Pencipta kerukunan, damai dalam perbedaan, anti anarkisme, nepotisme, radikalisme, diskriminasi, pejuang emansipasi, kebebasan berpendapat dan
Stop!
Tidak, jangan distop! İni yang paling
penting: seluruh rakyat akan ngamuk kalau Pak Bupati sampai kalah!
Pak Bupati memberi isyarat ajudannya.
Betul tidak, Pak Bupati?
Bupati ketawa. Antara betul dan tidak!
Maksud Bapak?
Pak Bupati memberi isyarat ajudannya.
Betul tidak, Pak Bupati?
Bupati ketawa. Antara betul dan tidak!
Maksud Bapak?
Maksudku,
aku mengerti curhat Anda, Bu Kades. Aku setuju pada Sernua pujianmu, tapi aku
sangsi, bingung melihat tubuhmu yang sensual?
Lho,
kurang apa tubuh saya, Pak? Maaf kalau terlalu seksi, ini kostum minimalis
serabutan karena berangkat tergesa-gesa. Maafkan kalau kurang berkenan!
O,
tidak! Darah seniku kental! Aku suka keindahan, aku berkenan sekali! Tapi bukan
itu!
Lalu
apanya dong, Pak Bupati?
Kostum
bagus. Postur tubuh Oke banget! Yang aneh, kata-kata dan gerakan kepalamu tidak
sinkron, tidak sesuai, tidak serasi dengan gerakan-gerakan tubuhmu. Nah itu,
coba ulangi, ya, ya itu! Tak usah diulangi lagi!! Imanku sudah kendor nanti
bisa ambrol!!
Tapi,
Pak, ini disebabkan jiwa saya tidak stabil, Pak Bupati!
Nah
itu lagi! Ampun! Jangan kasih dia bergerak lagi! Borgol, borgol dia!
Kepala
Desa itu diborgol.
Bangsat!
Badan siapa yang sudah kamu pakai ini, Bu Kades?
Ajudan
cepat membisiki Bupati.
O!
Aku ulangi, bangsat! Badan siapa yang sudah memakai kepalamu ini, Bu Kades?!
Badan siapa ini? Cepat potong leher Bu Kades! Badan siapa itu? Potong!
3.
Cepat,
antarkan kepala Bu Kades pulang kembali ke Gunung Bingung! Cari di mana
tubuhnya! Sekalian pulangkan tubuh seksi yang sudah memakai kepala Bu Kades
ini. Cari kepalanya. Kalau sudah ketemu langsung diproses di pengadilan, hukum
dengan hukuman berat seberat-beratnya, supaya menimbulkan efek jera! Jangan ada
lagi pemimpin memperalat badan rakyat! Tidak boleh lagi terjadi manusia
sembarangan biarpun seksi mendompleng kepala pernimpin. Kita bukan negeri zombi
!
Astya Puri 2, 30 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar