naskah monolog putu wijaya

BOM
(KALAU BOLEH MEMILIH LAGI)
Karya Putu Wijaya
Waktu aku bangun, di sampingku ada bom. Menyangka itu sisa-sisa dari mimpi, aku acuh-tak-acuh saja. Aku tangkap saja dan memeluknya seperti guling. Tidurku berkelanjutan lagi untuk beberapa jam. Tatkala aku bangun terlambat esoknya, bom itu hampir saja menindih kepalaku.
Sekarang aku tercengang. Aku belum pernah meraba sebuah bom. Di dalam bisokop bom tidak pernah menjadi terlalu penting. Yang penting adalah akibat-akibatnya. Sekarang aku terpaksa mengerti bahwa bom tidak sesederhana yang disampaikan oleh seorang juru kamera atau seorang sutradara film. Bom adalah sesuatu yang keras, dingin, penuh dengan seluk-beluk dan menimbulkan keruwetan tentang: apa yang harus diperbuat dengan sebuah bom.
Aku hanya tidur seorang diri. Istriku telah berangkat ke pasar. Sedangkan anak-anak pada jam sembilan seperti ini, sudah pasti semuanya berada dalam kelas. Aku terpaksa menghadapi bom itu sendirian. Pembantu dalam rumah tentu tidak bisa diajak berunding. Iyem hanya bisa mencuci dan memasak, sambil memecahkan secara berkala gelas-gelas, pelayan itu tentu tidak bisa diajak menghadapi bom.
Bom itu seperti bayi yang minta dimanjakan. Aku tahu itu taktik yang sangat berbahaya. Begitu disentuh, maka tenaganya akan merasuk ke dalam badan, melumpuhkan otak, membakar emosi, sehingga setiap orang bisa menjadi opembunuh yang keji. Aku hanya berani memandangnya. Meninggalkan pun tidak bisa, karena aku khawatir bom itu akan bertingkah. Berkembang di luar pengamatanku. Bahkan waktu pintu diketok, aku cepat-cepat membentak Iyem, supaya enyah jauh-jauh. Pintu itu aku kunci.
Kini aku yakin bahwa bom itu sedang bekerja. Aku seperti mendengar bunyi ketukan sehingga aku jadi curiga kalau-kalau itu bom waktu. Kalau ya, tanpa dibantu lagi ia akan meledak. Bagiku sekarang tinggal pilihan di mana aku dapat membiarkan bom itu meledak, tanpa membahayakan banyak orang.

Dalam keadaan seperti itu, aku teringat kepada musuh-musuhku. Tetangga-tetangga yang aku benci. Majikan yang pernah menyakiti hatiku. Bekas-bekas pacar dan beberapa pejabat yang culas, akan tetapi tetap menjadi wakil yang terhormat. Aku juga teringat kepada gubuk-gubuk liar  gelandangan yang seharusnya lebih pantas mati daripada hidup lebih lata dari binatang. Dengan mudah aku dapat membawa bom itu ke sana. Meledakkannya, lalu memikul resikonya. Dianggap penjahat atau pahlawan. Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi pahlawan atau penjahat secara spektakuler.
Aku merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus. Mungkin sekali aku akan keluar rumah dan mengumumkan kepada para tetangga untuk menjauhi rumahnya. Tapi aku khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran. Dan kalau ternyata apa yang kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan ejekan.
Selama satu jam aku tak dapat memutuskan apa-apa. Selama waktu itu rasa cemasku makin menjadi-jadi. Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung. Lalu bom itu aku raih. Aku dalam baju, aku bawa keluar, untuk diungsikan ke suatu tempat yang tidak mengganggu orang. Tetapi di mana, di mana ada tempat yang tidak mengganggu orang? Rumah tetangganya amat dempet-dempetan. Di mana-mana banyak orang. Apalagi di sekitar rumahku pasar dan jalan raya yang ramai.
Sambil memeluk bom, dengan memakai sarung yang kusut dan sandal jepit, aku kebingungan di depan rumah. Aku pikir aku harus memilih dengan cepat, apa yang harus dikorbankannya. Bom itu tampaknya tidak banyak punya waktu lagi. Mungkin masih ada seperempat jam yang sangat mendesak. Sesudah itu setiap saat bisa terjadi ledakan.
Untuk tidak menarik perhatian orang, aku kekep makin kuat bom itu. Sekarang aku mulai menghitung sekali lagi, apa yang harus aku korbankan. Rumah tanggaku sendiri? Rumah salah seorang tetangga yang dibenci oleh seluruh kampung karena selalu bijkin onar? Sebuah mobil sedan kepunyaan orang asing yang kebetulan lewat?. Kantor polisi? Atau sebuah tanah lapang?
Karena kekacauan pikiranku, jantungku lebih keras menghitung. Saraf-sarafku tegang. Aku tidak bisa lagi berpikir dengan baik. Tiba-tiba saja aku lari kencang sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang bendera yang tinggi. Tiang bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.

Mula-mula aku tidak menarik perhatian orang banyak, sebagaimana yang aku harapkan. Tetapi setelah aku mulai menaiki tiang bendera itu, orang-orang gempar. Mula-mula yang berdekatan saja. Kemudian dari jalanan mengalir banyak orang melihat aku hampir mencapai puncak bendera.
Tetangga-tetangga mula-mula tertawa, tetapi serentak mereka tahu bahwa itu aku, mereka heran. Di kalangan pergaulan biasa, aku adalah seorang manusia yang wajar, sabar serta baik. aku dikenal sebagai orang yang lurus yang tak akan melakukan apa-apa tanpa alasan yang kuat. Dan kalau sekarang aku memanjat tiang bendera setinggi itu hanya dengan kain sarung, pasti ada yang istimewa. Mereka pun berhenti ketawa, lalu lari menghampiri.
Seorang anak lari ke sekolah, memberitahukan anak-anakku apa yang terjadi dengan bapaknya. Anakku melapor kepada gurunya. Lalu guru itu sendiri menganjurkan agar anak-anakku berlarian ke bawah tiang bendera. Salah seorang pergi ke rumah. Ia tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Iyem telah pergi bersama orang lain menuju tiang bendera. Sementara istriku yang sedang berbelanja sudah mengalir juga bersama orang banyak.
Okiiii, turun kamu, teriak semua orang sambil melihat ke puncak bendera. Aku memberi isyarat agar orang-orang itu menjauh. Aku menunjuk ke bom yang berada di balik bajuku. Tapi orang-orang itu tidak mengerti. Mereka berkumpul tambah banyak.
Okiii, turun, jerit istriku yang baru sampai. Anak-anak ikut menjerit di samping ibunya.
Bapaaak! Turunnnnn!
Aku bertambah kukuh berpegang. Ujung bendera itu mengibas-ngibas. Aku  mengeluarkan bom itu lalu membungkusnya dengan bendera. Aku memandang ke bawah dengan cemas. Aku lihat begitu banyak orang. Tidak penting lagi bahwa di antara mereka itu ada tetangga, istri dan anak-anakku. Aku melihat begitu banyak orang. Rasa cemasku bertambah besar.
Jangan bunuh anak itu, teriak istriku
Orang banyak terkesima. Kamu bilang anak, anak apa?
Istriku meraung, mengacungkan tangan dan menunjuk ke buntalan yang aku kekep.
Orang banyak segera sadar. Kini perhatian mereka tidak lagi kepadaku, tetapi kepada buntalan itu. Semuanya terdiam, memandang ke atas dengan cemas. Mereka tidak berani lagi beteriak, khawatir kalau aku jadi gugup dan menjatuhkan anakku.
Jangan bunuh anak itu, Oki, itu anak kamu sendiri!
Anak-anakku ikut membantu ibunya. Mereka membuka mulut lebar-lebar.
Bapaaaaak! Jangan bunuh adik kamiiii!
Orang banyak tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Ini adalah masalah pribadi. Mereka hanya memandang sambil membagi simpati mereka, kepada pihak mana saja yang nanti ternyata benar. Sedangkan akudi puncak bendera itu semakin ketakutan. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ketukan dari dalam bom itu makin keras menusuk-nusuk jantungku.
Aku berteriak supaya orang-orang menghindar.
Pergii! Pergiii semua!!
Tetapi orang banyak makin mengalir ke bawah tiang bendera.
Aku jadi tambah takut. Tubuhku gemetar. Tiang bendera itu ikut bergetar melanjutkan ketakutanku. Ini menyebabkan masyarakat di bawah tiang bendera itu cemas. Apalagi karena tanggungjawab dan ketakutan, aku memeluk erat-erat bom itu. kalau ini meledak, biar akulah yang hancur sendiri, kataku putus-asa. Aku dekap bom itu ketat-ketat.
Jangaaaan, Paak! teriak istriku.
Orang banyak ikut berseru.
Jangaaaaan, Okiiii!! Sayang anakmu!!
Aku tidak mendengar, aku terus mendekap. Istriku terus menjerit. Anak-anak berhenti membuka mulut, sekarang mereka menangis.
Pada saat itu orang banyak mulai bingung. Keadaan menjadi tegang dan kacau. Hanya ada seorang petugas yang tenang. Ia melihat keadaan bertambah kritis. Ini memerlukan tindakan cepat. Harus diputuskan cepat dan dilaksanakan dengan segera. Petugas itu menarik lengan istriku.
Jadi suamimu ingin membunuh anakmu?
Benar, Pak.

Mana di antara keduanya yang paling kau cintai?
Kedua-duanya.
Tidak bisa, pilih satu saja!
Tidak bisa, Pak, saya pilih kedua-duanya.
Petugas itu menggeleng dengan dingin.
Keadaan sudah gawat, kamu harus memilih satu, suamimu atau anakmu?
Istriku tidak dapat memutuskan. Ia tetap ingin keduanya. Ia tidak mau memilih. Ia lebih suka menangis dan memandang ke puncak bendera sambil menadahkan tangan.
Okiiii!
Anak-anakku ikut berteriak.
Bapaaaak!
Tiba-tiba anak-anakku jatuh pingsan karena terlalu keras berkoar. Ini menyebabkan petugas itu cepat bertindak.  Ia menengok ke atas. Dilihatnya aku memeluk bom itu dengan keras sekali. Lalu ia mengacungkan bedilnya. Istriku menjerit. Ia memeluk kaki petugas itu dan mencakar-cakarnya.
Jangan, Pak! Jangannnnn!
Petugas itu tidak tergoda. Ia memerintahkan orang banyak agar ikut membantu. Lalu puluhan, barangkali ratusan – kalau tidak bisa dikatakan ribuan tangan merentang, mengembangkan jari-jari, siap menerima apa yang akan jatuh. Tangan-tangan itu bagai dataran putih yang empuk. Aku di atas tiang bendera sama sekali tidak mengerti, kenapa begitu banyak tangan menadah. Tapi waktu aku melihat pucuk senjata itu mengarah ke atas kepalaku, aku semakin keras memeluk.
Dor! Peluru itu menembus salah satu bagian tubuhku. Tapi aku tidak jatuh. Aku masih terus menempel, melilit tiang bendera.
Dor! Tanganku lemah memeluk.
Dor! Aku terus melilit tiang. Tapi bom itu lepas dari peganganku. Dengan diselimuti oleh bendera, bom itu melayang ke bawah.
Sepuluh, atau seribu, kalau tidak berjuta-juta tangan yang menadah berebutan hendak menjemput barang yang jatuh itu. Aku masih sempat mendengar ledakan yang dahsyat. Aku masih dapat membayangkan tangan-tangan itu lepas dari tubuh pemiliknya, terlempar ke udara sambil menyerakkan daerah. Aku masih bisa melihat seratus, seribu atau berjuta-juta orang kehilangan tangan. Tangan anakku, tangan isteriku, tetanggaku, tangan begitu banyak orang terlempar tepat mengemai mukaku.
Aku mengeram.
Kalau boleh memilih lagi, aku tidak akan menjamah bom itu. Akan ia biarkan saja tergolek di tempat tidurku sebagai bencana atau mimpi buruk.
Aku tidak tahu darimana asalnya, siapa yang telah mengaturnya. Dan yang lebih penting lagi, aku tidak usah merasa mempunyai kewajiban apa-apa. Apalagi secara diam-diam menaruh harapan untuk menyelamatkan orang banyak.
Sambil tersiksa oleh akibat perbuatanku, aku mati perlahan-lahan. Tubuhku bagai sekerat dendeng, tetap tergantung di tiang bendera itu, sampai sekarang

Jakarta 1978






BUMERANG
Karya : Putu Wijaya
Assalamualaikum. Salam sejahtera buat semua. Para hadirin sekalian yang saya muliakan, sebelum memulai pembekalan, mari kita nyanyikan lagu Sorak-Sorakpergembira. Tu-wa-ga-pat, yak!
LAGU SORAK-SORAK BERGEMBIRA.
Terima kasih. Lagunya sama, tapi arti kemerdekaan di kepala kita berbeda-beda pasti ada yang memaknakannya sebagai tiket untuk boleh berbuat apa saja. Ya tidak?! Ngaku saja, ya! Silakan, asal hanya di kamar mandi, (TERTAWA) maksudnya di rumah sendiri.
Ada yang mengartikan kemerdekaan bukan saja di rumah, di ruang publik pun oke berbuat apa saja, asal sembunyi-sembunyi, biar hanya Tuhan yang tahu. (TERTAWA)
Ada yang mengartikan kemerdekaan adalah saat setiap orang boleh punya pendapat apa saja. Mencintai orang yang dicintai, mencintai orang yang tidag mencintai, termasuk mencintai orang yang tidak dicintai serta mencintai orane yang di dan membenci. (TERTAWA) Walhasil kita bebas berbeda pendapat. Termasuk pendapat berbeda dengan (LIRIH) pemerintah. Asal pintar main belakang. sttt! (TERTAWA)
Apa lagi yang boleh dałam kemerdekaan, ya? O, ya, bukan hanya perbedaan bersuara diamini, perbedaan keyakinan pun, tidak dilarang. Asal pintar (MENYANYI) bersandiwara. (TERTAWA)
Yang penting, hindari konflik terbuka. Termasuk konflik intern. Kalau istri tidak mau, jangan dipaksa! (TERTAWA)



Tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. lni tidak boleh, itu pun jangan, semua tetek bengek dilarang. Kernerdekaan justru berarti tidak merdeka! Karena dałam kemerdekaan akan berjibun peraturan, melarang, memborgol, mengancam  dari A sampai Z, agar kemerdekaan kita tidak bablas mengkanibal kemerdekaan orang lain yang juga merdeka.
Nah, sekarang, apa arti kemerdekaan buat Anda? Apa anda punya rumus kermerdekaan yang lain? Biasanya kan ada yang suka nyelonong nyeleneh sendri, begitu. Coba itu ! Ya, sampeyan! Apa ?
O, itu? Kemerdekaan yang memperbolehkan orang berbuat apa saja di rumahnya sendiri? Ya, betul itu. Kenapa? (MENDENGARKAN) Apa? salah? Kenapa anda menuding itu salah kaprah?
O, begitu! Jadi beliau itu protes. Kalau begitu apa itu berarti mentang-mentang di rumah sendiri kemerdekaan memperbolehkan orang boleh membunuh anaknya sendiri seperti kasus  An... ? Itu kan meniru akal singa jantan Yang ngebet ingin bercinta lagi dengan istrinya tapi ditolak karena oroknya masih netek. Langsung oroknya dihabisi! Begitu? Tanya beliau itu. Sinis banget!
Jadi, begini. Itu, itu, tidak bisa! Penerapannya salah! Kita kan bukan binatang! Jangankan membunuh anak, menelantarkan anak saja sudah bisa diseret masuk penjara ! Ya, kan ?!

Apa? (MENIRUKAN) Anak itu milik orangtua? Salah lagi! Kita kan hanya pipa penyalur. Anakmu, bukan anakmu, Bro, tapi titipan Tuhan dan termasuk negara! Dengerin! Dengerin! Di dalam kemerdekaan, di rumah sendiri pun tidak boleh berbuat semena mena!
Apa? Kemerdekaan palsu? Salah! Anda tetap merdeka. Tetap bisa bebas asal terbatas, bukan bablas.
Apa? Telanjang di kamar mandi kan boleh. Boleh, asal jangan telanjang di muka urnum dengan merasa sedang mandi. Itu orang gila! Anda tidak gila, kan?

Apa? (ADA YANG BERTANYA) Keras dikit! (MENGULANG PERTANYAAN) Apa kita boleh merdeka berkeyakinan, merdeka berbeda pendapat dengan (LIRIH) pemerintah?
Sekalí lagi dan untuk yang terakhir kali, berkeyakinan beragama itu boleh. Adat istiadat berbeda tidak jadi masalah. Tapi kalau berbeda dalam dasar-dasar negara, itu tidak bisa! Sebab akan memicu perpecahan. Bisa berkembang jadi perang saudara.
Berbeda secara mendasar tidak dikenal oleh kemerdekaan mana pun. Kecuali kemerdekaan rimba. Kalau ada, itu bukan kemerdekaan, tapi anarkisme yang harus dibasmi sebelum meranggas jadi teror!
(BERPANTUN)
Ada pulau dalam pulau
Pulau Samosir Danau Toba
Walau galau kian galau
Bebas bablas jangan dicoba
Bila mata naik ke cakrawala
Hati ciut ketakutan
Bila negara dalam negara
Itu musuh persatuan
Lho, jangan hanya mengangguk-angguk. Apa pendapat Anda?
Apa? Anda setuju boleh berbeda keyakinan mendasar dengan pemerintah? Menjadi musuh dalam selimut? Itu namanya subversip. Sebab siapa pun pemerintah itu, kalau itu hasil pilihan kita dalam pernilu yang sah, benar dan adil, harus dihormati. Berikan dukungan, jangan belum apa-apa sudah dikobok-kobok. Berikan kesempatan bekerja! Nanti kalau sudah jelas salah arah, silakan kepruk, harus, jangan tunggu sampai 30 tahun. Tapi kalau mau mengganti, ya menang dulu, kan kita sedang belajar demokrasi.
Tapi ingat, kalau hasilnya bagus, jangan diam-diam saja, pura-pura tidak tahu! Ngomong! Fair dikitlah!
 (TERTAWA) Susah, ya! Mulut sudah terbuka tapi hati beku. Hati mau bersuara tapi mulut dibelenggu!
 Rasain! Emang merdeka itu enak?
Dalam kemerdekaan kita tidak merdeka. Karena banyak peraturan yang membatasi kemerdekaan kita, supaya tidah menginjak kemerdekaan orang lain yang sama-sama merdekanya, seperti kita. Tapi tidak berarti kita tidak merdeka, karena, kita ikhlas menerima ketidakmerdekaan itu! Begitul
Apa? Nah sekarang bagaimana pendapat Anda! Benarkah kita sekarang sudah merdeka? Karena kita sudah tidak diinjak-injak penjajah Iagi?
Kita hanya bebas terbatas, akibat diborgol peraturan, agar tidak bablas, demi keselamatan kemerdekaan orang lain. Dan kita memang sudah ikhlas dipasung begitu
Walhasil kita sudah merdeka meskipun tidak merdeka! Setuju? Jadi...
(MENEBARKAN PANDANGAN) Halo… lho, lho, kok, wah, bagaimana ini? pada kemana semua? Tadi ruangannya luber sampai ada yang duduk di lantai. Kok sekarang kosong melompong? Kabur? Itu kemerdekaan yang salah! Pada ngacir, ke mana? Kok ngibrit? Takut salah ngomong, ya? Kan kita sudah merdeka?  Sudah merdeka belum ini? Hei, heeii! Jangan kabur! Heeii ! (MENGEJAR) Heeii! ( PANIK)  Keamanan! Petugas! (TAMBAH PANIK, KE SANA KEMARI) Panitia! Panitia, stop! Siapa nyuruh itu! Jangan bagi konsumsi dulu! Ambil lagi! Rebut saja! Satpamnya mana? Satpammmm! Satpam semua kumpul! Amankan! Kunci semua pintu. Tahan semua yang mau keluar! Pembekalan belum selesai! Tahan! Kecuali yang mau masuk! Ah, tidak! Banyak alasan! Pokoknya tidak boleh! Tidak! Jangan tinggalkan ruangan kecuali mau ke kamar kecil. Tidak boleh! Kalau perlu boleh! Pakai pentungan karet saja! Ya sudah, borgol saja! Itu yang dekat pintu tarik saja! Tarik!
TERUS SIBUK. RIBUT MEMBERI INSTRUKSI.                                                                          Jakarta, 15 Agustus 2015


DAMAI
Karya : Putu Wijaya 
LATAR BELAKANG LAYAR PUTIH RAKSASA. MENAMPILKAN BERBAGAI SILUET HITAM-PUTIH / BERWARNAUNTUK AKSENTUASI VISUAL ADEGAN
Di sebuah padang lepas, lautan rumput hijau merentang sampai ke kaki langit. Cakrawala terbuka berdandan biru medok terang benderang memancarkan damai. Bunga-bunga semak liar, bergetar dikibas angin yang ramah dari penjelajahan ribuan kilometer. Hidup terasa tenteram. Pekik burung yang menoreh angkasa merambat panjang memasuki telinga hewan-hewan yang mencari makan tanpa ketakutan. 
Barangkali itu hanya sebuah lamunan. Tapi damai yang sayup memang.meletupkan keindahan untuk meredam cemas yang kia hari tambah gila dalam kehidupan buas ini. perang berkecambuk di mana-mana. Api menjilat ke seantero wilayah. Tak terkecuali mimpi yang indah pupus ludas terjilat hangus.
Para pemburu damai mencium bau darah. Lalu tiba-tiba saja mengentakan kakinya dan berteriak garang. Serang, terjang!
Mula-mula hanya telinga-telinga rusa yang bergetar. Lalu serangga-serangga kecil menggetarkan sayap. Mencoba luput tapi terlambat.
Ratusan ribu bahkan berjuta-juta sepatu menapak serentak ke atas keheningan, memuntahkan Wajah yang sudah tanpa wajah. Semuanya bagaikan terhisap oleh magnet raksasa yang dipancarkan dari dia yang akan menyampaikan orasi gagasan perdamaian baru.
Dalam sekejap mata, padang tak terbatas itu sudah tak punya ruang lagi. Di mana-mana wajah manusia yang kosong, memandang ke atas altar. Kepala-kepala mendongak  seperti mau lepas dari leher, ketika seorang orator naik untuk berbicara. Pekik-sorak gemuruh mengelu-elu. Semua mata nyalang membidik ke depan. 
Dengan wajah sebersih bocah, nyaris tanpa dosa, pemimpin itu berdiri di depan massa. Ia bagaikan sebatang pohon mengkudu dengan daun-daun yang gembur berwarna hijau rimba, menjanjikan penawar bagi seribu macam penyakit. Matanya yang adem membuat matahari tersipu, lalu menghindar ke balik awan-awan tipis, membiarkan peristiwa itu lewat sendirian dengan kodratnya.  Ketika pemimpin itu mengangkat tangannya, seluruh padang mendadak mati. Tak ada lagi yang berani bertepuk dan berbicara. Bahkan nafas pun ditahan, takut menganggu ucapannya. 
Hari ini kita berkumpul lagi di sini menyatukan tekad kita untuk menyerukan kepada   seluruh dunia, kepada seluruh umat manusia, kepada saudara-saudaraku di lima benua, atau di mana saja kini kau berada. Sadarilah, dunia berada di dalam bahaya. kita semua sedang di tebing keruntuhan.  Bangkitlah, saudaraku! waspada, bangunkan dirimu untuk menyongsong dunia yang lebih baik. yang lebih damai. Yang lebih  sejahtera dan lebih membahagiakan. Dengarkan suaraku, sebagai wakil dari hasrat batinmu yang mengharapkan masa depan yang lebih damai.
Di masa lalu, seorang yang sangat besar, berjasa, luhur jiwa dan mulia perbuatannya telah mengucapkan sebuah tonggak yang sampai kini menjadi kajian dunia. Kata beliau: Perang adalah alat yang berguna untuk memelihara perdamaian dunia. Senjata, kekuasaan, pembunuhan diperlukan untuk membuat manusia takut kehilangan damai, sehingga ia akan senantiasa memuja, memeluk dan mengupayakan perdamaian sepanjang hidupnya. Perang adalah anjing penjaga perdamaian. Perang adalah benteng terakhir perdamaian.!  
Tetapi itu dulu! Dulu! Ratusan tahun lalu. Ketika kita semua masih lugu. Ketika banyak orang belum tahu. Sekarang aku sangsi, aku bertanya kepada diriku sebab aku tidak bisa lagi bertanya kepada beliau. Lihatlah kenyataan di atas dunia ini. Perang di mana-mana tidak hanya membunuh para serdadu, tidak hanya melukai orang-orang bersenjata yang berperang. Perang zaman sekarang lebih banyak lagi melukai dan membunuh rakyat sipil, anak-anak, orang tua dan khususnya para wanita. Benar tidak?  
Benar sekali!
Seandainya beliau, tokoh sejarah dunia yang besar itu, sempat melihat betapa buasnya perang, betapa ganas, brutal, biadapnya pertempuran, aku yakin beliau tidak akan sampai hati mengucapkan apa yang sudah digariskannya dan menjadi panutan manusia untuk membenarkan peperangan sampai sekarang. Perang ternyata bukan anjing gembala penjaga perdamaian, tetapi anjing-anjing srigala liar yang gila, yang kelaparan, membunuh umat manusia lebih cepat, lebih keji. Perang adalah binatang liar yang menghancurkan perdamaian!
Pemimpin itu mengangkat tangannya dan berseru lebih keras:  Perang adalah binatang buas pemakan perdamaian!  
Bagaikan kena hipnotis, seluruh tangan terangkat dan mulut terkuak, melontarkan seruan yang sama:  Perang adalah binatangt buas pemakan perdamaian!
Pemimpin itu menarik napas dalam, tanda hatinya lega. Kemudian lanjut. Banyak orang bunuh-bunuhan untuk merebut kemerdekaannya. Banyak orang berkelahi untuk menegakkan keadilan, membela kebenaran. Agar mencapai kesetaraan di masa depannya yang lebih baik. Banyak orang berkelahi untuk membela kemanusian yang diinjak kekuasaan. Lalu mereka mengangkat senjata, mengobarkan perang, untuk membunuh lawan sampai ke akar- akarnya.
Tetapi sekali perang berkobar, dia akan menjadi mesin buas yang tidak puas hanya membunuh. Perang juga akan memusnahkan segala-galanya. Karena itu aku menentang. Aku mengangkat tangaku dan berseru: Tidak!!!!
Masa langsung mengulangi  lebih keras:  Tidak!!! Tidak!!! Tidak!!!!
Pemimpin itu mengangkat tangan kembali.  
Tapi tetap saja masih ada orang-orang di sekitar kita yang dengan pongah mengatakan bahwa Perang dan Damai adalah dua wajah di satu mata uang. Perang untuk damai, kata mereka.  Damai hanya mungkin lewat perang, kata mereka. Mereka jual peperangan ke mana-mana di seluruh dunia! Maka tak heran kalau bagaikan narkoba, perang mulai menggigit, menjangkiti dan meracuni jiwa generasi tua-muda. Semua orang jadi mabuk berperang! Kawula muda mudah beringas. Orang-orang tua cepat tersinggung. Semua mengepalkan tangan mau main pukul, tak peduli siapa salah, siapa benar. Saat itulah aku jadi sebel! Aku marah! Bangsat!
Perang adalah perang. Damai adalah damai. Perang dan damai mutlak bermusuhan! Ayo, sebagai manusia yang waras yang beriman, sebagai manusia yang masih percaya kebesaran ilahi,  yang masih mencintai sesama makhlukNya, sesuai dengan perintahNya, serukanlah sama-sama seratus kali dengan suaramu yang mantap, gegap-gempita: Perang adalah perang. Damai adalah damai. Perang dan damai dua kutub yang bertolak belakang!  
Massa serentak berkoar:  Perang adalah perang, damai adalah damai. Perang dan damai dua kutub yang bertolak belakang!! Seratus kali!!
Pada seruan yang kesembilan, pemimpin itu menarik nafas lega, lalu mengangkat tangan membungkam suasana. Kembali lautan padang hijau itu hening sepi. Semua menanti. Tetapi tepat ketika tercipta lorong sunyi itu, tiba-tiba terdengar ucapan seorang anak  Perang adalah damai, damai adalah perang. Perang dan damai dua kubu yang selalu besratu!  
Suara itu tidak keras, tetapi isinya menebas. Semua kepala memalingkan muka. Seorang pelajar dengan buku-buku pelajaran di tangan, baru pulang dari sekolah, nampak terpukau oleh ucapannya sendiri.  mulutnya masih hangat : Perang dan damai, dua kubu yang selalu bersatu!
Orator kontan membentak.  Salah! Perang dan damai, dua kubu yang pantang bersatu! 
Satu kubu yang selalu bersekutu!  
Orator terperanjat. Matanya menyala-nyala.  Sontoloyo. Siapa kamu? Kemari!
Pelajar itu menguakkan massa, lalu naik ke mimbar. Eh, altar! Mimbar atau altar terserah!  
Apa kamu bilang, kurcaci? Dengar baik-baik! Perang adalah perang. Damai adalah damai. Perang dan damai dua kutub yang haram bersatu!
Dua kutub yang selalu bersatu!  
Bego! Bagaimana bersatu kalau tidak pernah ketemu!
Selalu Bertemu!  
Tidak!  
Selalu!
Plak! Tangan orator itu menampar pelajar. Apa? Pemimpin! Orator atau pemimpin terserah sekarepmu! Plak! Plak! Crot! Gedebuk!
Yang ditampar terjerembah jegreg, terkapar di tanah. Buku-buku di tangannya berserak. Tapi ia langsung bangkit, melonjak lagi seperti tidak mampu menahan kata-katanya : Perang dan damai selalu bertemu, bersatu-padu!
Jiamput, cukimai, keblinger kamu!! Guru kamu busuk! Perang dan damai tidak bisa bersatu! 
Bersatu!  
Tidak!  
satu!  
Tidak!  
Satu!Satu!Satu!
Tidak!  
Brengsek!  
Tiba-tiba sang pemimpin menghunus senjata, membidik kepala pelajar.
Si kancil itu gemetar takut, terkentut-kentut dan ngompol, bahkan beol, tapi mulutnya terus berkoar memuntahkan indoktrinasi di sekolah. Bahkan tambah nekat: Perang dan damai dua kutub yang selalu bersekutu! Selalu terpadu! Selalu!
Dor. Dor! Dor!.Tiga kali. Dua kali lagi. Dor! Dor! mencabik padang damai yang hening itu, membuat tiba-tiba terasa amat kosong, bahkan terlalu blong.
Pemimpin meniup asap dari lop senjatanya, lalu menyimpannya kembali ke dalam orasi damainya. Kemudian ia menarik napas panjang, seakan membatalkan seluruh peristiwa brutal yang muncul dari orasinya.
Beberapa detik kemudian suaranya terdengar lebih lantang. Saudara-saudaraku, sadarlah, dunia dalam bahaya. Atas nama apa pun, sekali lagi dan seribu kali lagi, atas nama apa pun, Perang akan memusnahkan segala-galanya. Tak terkecuali akan memusnahkan yang di atasnamakannya! Jadi,  Bangkitlah sebelum terlambat!
Mengaum dengan keras: Perang adalah perang. Damai adalah damai Perang dan damai dua kutub yang tidak boleh bertemu.
Ulurkan tanganmu, pegang tanganku, bersama-sama kita songsong dunia baru dan pemahaman baru! Damai lewat perang adalah damai palsu! Perang demi mengakkan perdamaian adalah jurang kehancuran! Damai lewat pembunuhan adalah kebiadaban! Damai lewat kekerasan adalah kesesatan! Damai lewat lautan darah adalah kemusnahan! Damai tanpa senjata! Damai tanpa benci! Damai tanpa kemenangan. Damai tanpa kekalahan. Damai abadi! Perang mati!  
Massa tak bisa lagi membendung diri. Semuanya memekik histeris. 
Damai abadi, perang mati!  
Perang mati, damai abadi!  
Damai abadi, perang mati!”  
Seruan itu terlontar memenuhi padang. Menghentak-hentak mengapai matahari. Lalu pemimpin itu turun, berjalan menembus padang ke kaki langit, Semua mengikuti bagaikan sebuah sungai raksasa, mengalir sambil bernyanyi dengan gembira:  
Damai tanpa senjata, damai tanpa darah, damai tanpa kekerasan, damai tanpa kekejaman, damai tanpa pembunuhan, damai tanpa peperangan! Damai abadi, perang mati! Damai abadi! Perang mati! Damai abadi! perang mati!  
Perlahan-lahan padang itu kembali sunyi. Rumput-rumput rebah diam-diam meregang untuk tegak. Serangga yang menghilang, mulai berhamburan ke sarangnya yang sudah porak-poranda terinjak-injak. Kijang-kijang yang ketakutan muncul dari balik semak-semak. Lalu angin berhembus lagi membawa sejuk dari arah danau dan pegunungan.
Lautan hijau itu kembali menghijau dengan seluruh kebebasannya.
Namun, di atas mimbar tubuh pelajar itu terbaring bersimbah darah. Buku-buku yang berserakan di sekitarnya seperti meratap sia-sia. Kepalanya pecah. Di bibirnya masih menggeliat sisa-sisa perkataan yang belum semua berhasil ia ucapkan.
Perang dan damai ular berkepala dua!
Namun semua itu tertutup oleh nyanyian  perdamaian yang sayup-sayup terus menggeliat digaet angin, menggeliat di atas  wajah pelajar yang telah kaku:  
Damai tanpa senjata, damai tanpa darah, damai tanpa kekerasan, damai tanpa pembunuhan, damai tanpa peperangan, damai abadi, perang mati, Damai abadi, perang mati! Damai abadi, perang mati! Damai abadi, perang mati! Damai abadi! Damai abadi! ....
LAYAR RAKSASA ITU BAGIAN TENGAHNYA MUNDUR, SEDANGKAN UJUNG KANAN DAN KIRI MAJU MEMBENTUK LORONG. LAMPU MERAH DI UJUNG LORONG.
Damai abadi! Damai abadi !
ORATOR MASUK KE LORONG. LORONG KEMBALI JADI LAYAR. BAYANGAN ORATOR MEMBESAR SAMBIL MENGHUNUS SENJATA MEMIMPIN SERUAN “DAMAI ABADI” MAKIN KERAS, GEGAP GEMPITA. BAYANGAN ORATOR KIAN BESAR MEMENUHI LAYAR LALU MENEMBAK MEMBABI BUTA. SERUAN DAMAI TAMBAH KENCANG DIIKUTI TEMBAKAN LIAR.
LAYAR BERGETAR. PERANG BERKOBAR.
Perang adalah anjing penjaga perdamaian! Perang dalah benteng terakhir perdamaian! Perang adalah anjing penjaga perdamaian! Perang dalah benteng terakhir perdamaian!
DAN SETERUSNYA



Cirendeu, 27 November 2002 – 5 Januari 2016



EYANG
Karya : Putu Wijaya
PAGI-PAGI NENEK MASUK KAMAR DENGAN KOSTUM R.A KARTINI, MENYAPA YANG MASIH MOLOR.
Selamat pagi, Harmoni. Terima kasih banyak atas semua yang sudah kamu perbuat kepada suamimu serta putrimu selama ini. Kamu benar-benar sudah menunjukan bagaimana seorang ibu yang berkepribadian Timur seharusnya bersikap di dalam keluarga. Kamu nampak selalu berusaha untuk menghargai, menghormati, menjaga perasaan suamimu. Dengan begitu, kamu sudah menumbuhkan kepercayaan diri pada suamimu, sehingga dia tetap merasa dirinya berguna, mampu serta dicintai.
Tidak semua lelaki itu kuat. Banyak di antaranya yang lemah. Bahkan begitu letoinya, sehingga pernikahan buat dia adalah mencari teman hidup, untuk menolong tegaknya. Banyak lelaki seperti sebatang pohon merambat yang memerlukan penyangga untuk berkembang. Dan kamu sudah melakukannya dengan baik sekali. Sehingga walaupun suamimu tak sanggup memberikan keluarga segala yang diharapkan oleh keluarga dari seorang kepala rumah tangga, tetapi dia sudah mampu bertahan dan mengembangkan dirinya secara maksimal.
Bagusnya lagi adalah kendati maksimal yang ia bisa lakukan, hanya menghasilkan sebuah rumah yang sederhana dan kehidupan yang tidak bisa dikatakan mewah, tetapi kamu, istrinya, selalu menerima dan menghargainya sehingga kebanggaannya sebagai kepala rumah tangga tidak berkurang. Kamu juga tidak pernah mebanding-bandingkan suamimu dengan suami-suami yang lebih sukses. Kamu tak pernah mengurangi kasih sayangmu di saat ia sakit, di saat ia merasa dirinya gagal. Bahkan di saat ia menjadi begitu brengsek, kamu dengan bijaksana, bahkan agung, dengan penuh kasih sayang merawatnya, menyayanginya, bahkan memanjakannya. Tetapi begitu suamimu mulai menemukan kembali dirinya, kamu cepat-cepat menyadarkannya kembali untuk bekerja, berusaha dan awas terus di dalam kehidupan.

Kalah dan gagal pun tak jadi apa, asal sudah berusaha secara maksimal, katamu. Itu sangat baik. Itulah yang ingin aku sampaikan kepada semua perempuan Indonesia. Jadikanlah dirimu cahaya yang tidak hanya menerangi jalan kaummu, juga jalan teman hidupmu yang telah kau pilih sebagai teman hidupmu selama-lamanya.
Namun ada satu permintaan yang ingin aku sampaikan. Jangan berhenti mendorongnya untuk terus meningkatkan diri. Jangan hanya menerima kekurangannya. Memang, mula-mula harus bisa menerima kelemahan sendiri, tetapi kemudian tolong tumbuhkan, tingkatkan dan arahkan, agar dia bisa menjadi laki-laki sejati. Kalau perlu, jangan segan-segan bertindak dan menegurnya secara keras. (BERBISIK) Kalau terpaksa, boleh kejam sedikit, asal jangan keterusan.
Ayo, jangan menyerah! Bangkit! Semangat! Kamu bukan PRT, pembantu rumah tangga, tapi kamu permata rumah tangga! Pelihara api asmaramu tetap menyala, jangan dikurangi hanya karena meras sudah tua.
MENGHAMPIRI SUAMI HARMONI
Kamu dengar semua yang tadi kukatakan pada istrimu? Jangan salah tangkap, kamu harus rasakan intinya. Terima kasih, Hartawan, anakku. Sebagai suami kamu sudah memperlakukan Harmoni, Istrimu, bukan sebagai PRT, bukan benda hak milik, tapi manusia yang punya rasa dan kemauan, yang kadang baik kadang kurang, seperti kamu dan umumnya manusia normal.
Bukan hanya pada istrimu, juga pada Amoi, putrimu, kamu selalu santun. Menghargai hak, menghormati pendapat mereka. Bahkan kamu sering mengutamakannya dengan menyampingkan perasaanmu sendiri. Itu sungguh jantan dan mulia. Usaha kamu untuk membuat istrimu selalu bisa senyum, anak tetap tertawa di dalam rumah, sungguh indah. Mengagumkan.
Lelaki tidak seharusnya merasa dirinya lebih penting dan lebih bertanggung jawab di dalam keluarga walaupun tugasnya memang berat. Kamu telah memberikan kesempatan seluas-luasnya pada istri dan anakmu untuk mengembangkan pikiran dan perasaan mereka. Di dalam berbeda pendapat, kamu selalu berusaha untuk mengerti kenapa istri dan putrimu berpendapat lain. Bahkan dalam kesibukannya, ketika Harmoni seperti tidak mengacuhkanmu, lebih mengutamakan kepentingan dirinya, putrinya, serta keluarganya, kamu tetap bersabar. Bahkan ketika istrimu sama sekali tidak mempedulikan apa yang sudah kamu lakukan untuk keluarga, kamu tetap tegar. Walaupun Harmoni tidak pernah atau jarang sekali mengucapkan maaf kalau melakukan kesalahan, kamu tidak peduli. Bahkan ketika istrimu tidak pernah lagi membelai-belaimu, seperti waktu masih pacaran, kamu tetap tenang. Kamu selalu mengatakan bahwa bukan apa yang dilakukan istrimu yang kamu nilai, tetapi apa yang menyala di dalam hatinya.
Itu yang namanya lelaki sejati.
Terhadap putrimu, kamu juga sudah bersikap adil. Banyak orang merindukan anak lelaki dan kecewa karena hanya punya anak perempuan. Tapi kamu tidak. Kamu memperlakukan putrimu dengan begitu baiknya sehingga mirip memanjakan. Jadi, mungkin dengan segala kebaikanmu itu, orang jadi merasa bahwa memang kamu orang kuat yang tidak memerlukan kasih sayang. Nah, itu yang tidak baik.
Jadi, ke depan, jangan takut untuk memperlihatkan kelemahan. Jangan menutup mulut, katakan apa yang kamu inginkan. Jangan biarkan istrimu sibuk dengan diri dan putrinya saja karena ia merasa kamu terlalu segar sehingga tidak memerlukan bantuan. Tunjukkan kepada mereka bahwa kamu memerlukan mereka supaya mereka merasa diri berguna. Kalau tidak, mereka akan bertambah jauh dan bisa-bisa malah sama sekali tidak mempedulikan kamu. Bukan karena tak sayang, tapi mereka menyangka memang kamu lebih senang sendiri.
Sementara, itu dulu. Itu anakmu mulai bangun.
MENDEKATI CUCUNYA.
Akhirnya Eyang juga perlu bicara kepadamu, Ami, cucu semata wayangku, yang sebentar lagi akan terbang jadi orang, seperti juga Etang dulu. (TERTAWA) Tapi Eyang dulu gugup, hampir nyangkut di pohon rambutan. Kain Eyang lepas hampir telanjang. Untung ada jagoan menyelamatkan kemudian jadi kakekmu. (MENGUSAP MATA) Ah, aku tak mau lagi menangisi kepergiannya yang terlalu cepat. Puluhan ribu orang lain juga sudah pergi terlalu cepat untuk menebus kemerdekaan kita sekarang.
Ami, apa yang sudah kamu lakukan juga bagus sekali. Sebagai seorang anak, kamu menjadi contoh bagaiman menghormati orangtua. Menghormati tidak berarti harus takut atau bilang ya, ya terus. Takut akan menyebabkan orang bisa berbohong. Bohong dapat meninmbulkan perselisihan. Itu tidak boleh terjadi.
Kamu telah dengan berani bisa menentang bapak dan ibumu. Kalau orangtua keliru, anaklah yang harus memperbaikinya. Tapi kalau mereka benar, kamu juga harus dengan ikhlas menyatakan dirimu keliru, sesudah kamu menyadarinya.
Seorang anak memang harusnya bukan hanya cahaya hati orangtua, tetapi dia juga cahaya rumah. Anaklah yang seharusnya membuat rumah menjadi istana.
Karena kamu anak perempuan, Eyang benar-benar ingin bicara kepadamu sekarang, antara perempuan dengan perempuan. Bukan sanggul atau gelungan Eyang yang hendak Eyang wariskan. Bukan Eyang menyuruh putri-putri Indonesia memakai pakaian menirukan Eyang.
Eyang hidup di masa lalu. Kalau Eyang hidup di masa kamu hidup sekarang, Ami, mungkin Eyang juga akan memakai slack, hotpant, syanghai dress, backless, celana kedodoran hingga perut dan pinggul mencolot, nyemir rambut berwarna dan bikini. Pendeknya, apa pun yang kamu pakai sekarang, lipstick, bulu mata palsu (MENYEBUT ALAT-ALAT MAKE UP) akan Eyang pakai. Eyang tidak akan mau ketinggalan mode. Eyang akan berpikir seperti apa yang kamu pikirkan. Emansipasi, kesetaraan, wanita karier dan hak minta cerai!
Eyang hanya berharap itu semua jangan tampak luarnya thok, itu namanya aksi bau terasi. Yang penting isinya, intinya! Jadi harus dipikir, o itu kami butuhkan tidak? Apa pesan dan tujuannya, apa dasar pemikirannya?
Dari perjalanan Eyang di masa lalu, yang harus kamu simak hanya satu: Perempuan Indonesia jangan pernah merasa dirinya lemah dan berserah pasrah. Perempuan Indonesia berhak bersuara, bergerak sesuai dengan kodrat dan kebutuhan masing-masing pribadinya dengan memperhatikan budaya Timur. Budaya Timur itu apa, Ami? Bukan hanya pakaiannya, tetapi caranya memakai. Perasaan dan pikirannya seimbang, tidak boleh serong kanan, serong kiri. Jaga, jangan ditiup puting beliung atau diseret arus air. Mengalir tenang, wajar, waspada dan sadar.
Semoga kamu mengerti apa yang Eyang maksudkan. Dan satu hal lagi yang ingin Eyang sampaikan, tapi sering kelupaan adalah, ayo buka dulu kabel HP di telingamu.
Nah, sekarang dengar, orangtuamu, keduanya sudah semakin tua. Dan akan terus tambah tua. Kamu sendiri bertambah maju, bertambah edan. Tapi mereka, orangtuamu itu, juga tetap akan berusaha untuk maju meski kemampuan mereka tidak lagi selincah kamu. Mereka hanya penari serimpi, tidak akan bisa berdansa salsa seperti kamu. Bisa copot pantatnya!
Jadi, kamu jangan tertipu. Jangan sok tahu. Jangan tidak punya malu. Kamu dapat giliran ngemong mereka. Jadi babyzit, mengasuh mereka, seperti dulu mereka ngajari kamu jalan dan bicara. Generasi baru harus bukan hanya lebih berani saja, tetapi lebih arif bijaksana dan lebih luas pandangannya. Lebih bertanggung jawab dari generasi yang lebih tua. Usia tidak menjadi ukuran kedewasaan. Usia bukan ukuran kematangan. Usia tidak bisa dijadikan kebangaan, karena kamu molor sekali pun dia terus nambah.
Nah, itulah kepribadian kita. Semoga masa depanmu cerah, Cucuku. Oke? GBU!
MELIHAT DIRINYA SENDIRI
Dan ini, astaganaga, siapa lagi ini? Sudah mengkerut, keriput, cemberut dan baunya kecut! Hei, orang gaek, siapa pun kamu, kamu penumpang gelap yang harus mengerti aturan. Kalau mau tinggal di sini di antara orang-orang yang aku sayangi ini jangan banyak omong, jangan banyak cingcong! Kamu sudah ompong. Wejangan yang keluar dari perutmu hanya gonggong anjing kafilah berlalu, tahu? Kalau tidak betah, kalau gerah, jangan marah-marah, jangan bikin orang naik darah. Tinggal angkat kaki, susul suamimu yang sudah lama kabur. Dunia ini memang dulu milikmu. Rumah ini kamu yang bangun. Dan memang dari kamu semuanya ini ada. Tapi itu kan hanya sejarah. Ini sekarang buku baru dimana namamu hanya disebut sekali, tapi kamarmu sudah tidak ada lagi. Sudah diwariskan ke yang lain. Tahu dirilah kamu. Tunjukkan jiwa besarmu. Jangan kamu pikir matahari masih terbit di Timur. Kumpulkan semua kenangan, masukkan ke dalam kopormu. Sebentar lagi kamu dirazia, dicemplungkan ke rumah jompo, dikawal pegawai panti asuhan yang mukanya dingin dan beku.
Ingat, apa yang kamu ajarkan kepada mereka. Rasuki sukma ibu kita Raden Ajeng Kartini! Jadi perempuan Indonesia sejati. Tegar! Tapi jangan hanya ngajarin orang, jadikan juga dirimu sendiri Kartini, bukan hanya waktu muda, sampai bangkotan pun harus tetap Kartini! Ayo, bangun Kartini gaek! Bangun! Bangun! Tempat kamu bukan di sini lagi! Mereka tidak punya waktu lagi ngurus kamu!




MENYANYI
Ibu kita Kartini
Pendekar Bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk semua
Dstnya
Bangun! Bangun!
MENGAMBIL SAPU DAN MEMUKUL-MUKUL. TAPI KEMUDIAN SADAR. LALU MENCOPOTI KOSTUMNYA, MEMASUKKAN KE KOPOR. SIAP BERANGKAT.
MENANGIS.

Manado, 13 April 2010
Jkt, 11 Januari 2016


HP
Karya : Putu Wijaya
SEBUAH KURSI. TERDENGAR SUARA PANGGILAN HP. DERINGNYA LAGU INDONESIA RAYA.
X BERLARI MENCARI DI HP. TIDAK KETEMU.
Tunggu dulu! Di mana sih kamu? Di mana kamu? Ya! Ya! Tungguuu! Tapi di mana kamu ?
PANGGILAN BERHENTI.
(MENGMPAT) Gelo sia! Begini kalau kita tergantung teknologi! Jadi idiot!
PANGGILAN LAGI.
Yaaa! Tungguu! Terlalu, siapa sih nelepon pagi-pagi begini. Nggak tahu aturan! Minggu kan waktunya istirahat! Taksaannn! Bangun! Itu kali teman kamu yang teleponnya suka nyasar ke Mama! Jangan molor terus! Bantuin kek Mama beres-beres rumah.
HP BUNYI LAGI.
Nah itu ngeyel terus! Berisik!
X MENCAR LAGI. TIDAK KETEMU.
Taksannn, mana HP Mama? Makanya jangan suka pakai punya orangtua. Kamu kan punya sendiri!. Di mana ya, cepat, berisik tahu! Ah peduli amat. Peduli amat!
MULAI MENGELAP KURSI.
Kursi Da Vinci pun kalau tidak tiap hari digosok ….
HP BERDIRING LAGI.
Ya Allah!
X KELABAKAN, PANIK, TAPI KEMUDIAN MERABA KANTONG BAJU DASTERNYA DAN MENEMUKAN HP.
Oooo, Alhamdulillah, di sini rupanya dikau!
(MENGELUARKAN HP) Halo, (SUARA DIBUAT SOPAN DAN MERDU) ya, halo maaf siapa ini ya? O salah sambung, Pak. Apa? O, ya, betul ini rumah Pak Rony. Masih tidur, Pak. Bukan, saya bukan pembantunya, saya istrinya. Betul anak saya namanya Taksan, Bahasa Jepang artinya banyak, Pak. Lengkapnya Taksan Harta. Apa? Ditangkap? Kenapa? Ya Allah, membawa narkoba 8 kilo? Sekarang di mana ? Di Jalan Kucing Garong? Mau diproses? Tebusan? Supaya jangan diproses? Berapa duit, Pak? Dua ratus juta? Masa Allah! Aduh, saya bukan orang kaya, Pak.
Keliru. Itu kali Pak Roni tetangga saya. Beliau memang konglomerat, tapi tidak punya anak. Ya betul nama anak saya Taksan. Jangan, jangan, ampun jangan disiksa sampai menjerit-jerit begitu. Jangan, Pak, jangan, jangan disakiti, Pak. Ampun! Apa? Tebusan? Saya tak punya duit, Pak? Lagian ini Minggu. Paling ATM, Pak. Tapi maksimum pengambilan 10 juta, tadi sudah saya transfer 5 juta bayar uang kuliah Taksan. Ooo, 5 juta Bapak mau? Tapi nanti saya bokek. Dua juta saja, ya, Pak?! Baik, terima kasih, Pak. Tapi saya panggil dulu tetangga saya, Pak Kapten, untuk mengawal. Dia masih punya pistol untuk jaga-jaga. Taksan juga saya bangunin sekarang untuk nyopir. Ya, Taksan masih tidur, semalaman main gim. Ya anak saya itu Taksaannn! Persisnya posisi Bapak dimana? Halo, halo, haloo! Paaak! (DIPUTUS)
Rasain lu! Pagi-pagi sudah mau bikin dosa! Masuk neraka lu!
MELIHAT TAKSAN DATANG.
Udah, Taksan, nggak jadi. Mama bisa selesaikan sendiri secara jantan, Tidur aja dulu.
HP MEMANGGIL LAGI. X LANGSUNG MENGGERTAK.
Hei, teroris! Biar mampus lu diembat Pak Kapten! Pagi-pagi udah cuap-cuap! Setan lu! Genderuwo?! Awas ya, gue lapor baru nyahok lu!  (TERKEJUT. LALU MEMERIKSA SIAPA YANG MENELEPON. BENGONG)
Ya Tuhan, maaf, Pak Menteri. Saya kira telepon gelap. Tadi ada orang mau menipu saya mengatakan Taksan anak saya ditangkap. Padahal dia …. O begitu, Pak. Masih tidur, Pak. Perlu saya bangunkan? Kalau begitu nanti saya sampaikan. Jadi, yang tanda tangan suami saya saja? Baik. Jadi, bukan Bapak? Baik, Pak. Tapi sekali lagi minta ma … (DIPUTUS) Sialan! Nggak kelurahan, nggak menteri, kelakuannya tai kucing semua. Duitnya mau, yang masuk bui, kita ….

SMS MASUK.
Pinjaman tanpa agunan, ah tai kucing! Cipoa semua! Nggak ada yang bener sekarang! Kenapa sih yang beginian dibiarin, nggak diberantas aparat? Ini kan kriminal? Apa ada kongkalikong? Sialan lu, goblok! Rayuan gombal gini kan kita semua udah nyahok! Cerdas dikit dong! Dasar bandit! Iblis! Masuk neraka lu!
MENELEPON TEMANNYA.
(RAMAH TAMAH) Selamat pagi, Bu Kapten, posisi di mana? Jadi ke salon? Oh, OTW. Apa? Habis keramas? Sunnah Nabi ni ye! (KETAWA) Pengantin baru! Ah, kalau di sini pelurunya macet terus, Bu … (KETAWA LEBIH SERU) Apa? (KETAWA NGAKAK KERAS) Obat kuat? Udah Seribu kali, Bu. Tangkur buaya kek, kuda laut kek, sampai darah ular kobra! Tapi terus aja loyo seperti balon kempis! (KETAWA DIBUAT-BUAT) Betul, betul! (KETAWA DIBUAT-BUAT) Betul! (KETAWA DIBUAT-BUAT TAMBAH KERAS) Ya, betul, betul, betul. (KETAWA DIBUAT-BUAT LEBIH KERAS) Ya betul, setuju! (KETAWA DIBUAT-BUAT PANJANG SAMPAI KESELEK) Maaf Bu, denger-denger Bu Kadir yang di pojok itu ada main sama pembantunya! Ya, (BERBISIK) lesbi dong! (TAMBAH BERBISIK) Ya! Pak Kadir kurang apa, coba! Ganteng, kaya, banyak ibu-ibu di kantornya jatuh cinta. (BERBISIK) Katanya itunya… Apa? Ya! (KETAWA NGAKAK) Sampai Pak Kadir kurus kering begitu! Betul, betul sekali, ya. (KETAWA LAGI, LALU SERIUS) Maaf, begini, kalau bisa saya …. (PUTUS) Bu, Bu Kapten! Kalau tidak merepotkan …. (DIPUTUS LAGI) Sialan, pasti dia kira mau pinjam duit. Dasar gom ….
MELEMPAR HP KE KURSI. LALU MENGELAP KURSI. BERSENANDUNG. HP BUNYI LAGI.
(MENGGERTAK) Mat! Kamu gila! Bagaimana sih mau kamu? Janjinya bulan depan, sekarang udah lima kali bulan depan! Itu duit organisasi, tahu?! Ibu sakit kek, Nenek mampus kek, mobil belum laku kek, itu kan bukan urusan gue! Kecuali elu yang mampus! Pokoknya bulan depan belum elu balikin juga, kagak tahu dah, gue kirim debt collector biar dipotong barang elu! Ngarti?! (MEMATIKAN HP)
Sebel bisnis sama pribumi! Beda kalau sama ….
HP BUNYI LAGI. X TERKEJUR. MAU MEMATIKAN, TAK JADI.
(BICARA BERDESAH) John? Ini kamu?
MENJAUH. CARI POJOKAN AMAN.
(BERBISIK) Kenapa Minggu-minggu nelpon? Kan aku sudah bilang jangan. Minggu, dia ada di rumah. Yes, I know, Aku juga kangen.
(LANGSUNG MEMBENTAK TELEPON) Salah! Salah sambung, Pak!, Salah sambung!       S-a-l-a-h-s-a-m-b-u-n-g!
PURA-PURA MEMATIKAN HUBUNGAN TELEPON. SUAMINYA LEWAT.
(MENEGUR SUAMINYA MESRA) Tidur aja dulu, Papa, kan hari Minggu, kasihan badan dan otakmu diperes terus tiap hari untuk menghidupi keluarga. Mesin juga ada istirahatnya.
(BICARA DI TELEPON) Kan udah saya bilangin ini bukan rumah Pak Egi! Anda kok ngotot?! Ya Tanya ke DPR sana, kenapa mesti ke mari?!
MELONGOK MEMERIKSA SUAMINYA SUDAH MASUK KAMAR.
(KEMBALI BERBISIK DI HP. MANJA. BERDESAH) John, kamu masih di situ, darling? Nanti kalau dah aman aku pasti nelepon. Swear! Sama, aku juga kangen banget, banget. Kapan kita bisa keemu, masak di dunia maya terus! Muachh, muachh, muachhhh!. Ssst!
SUAMINYA KEMBALI LEWAT.
Kenapa, Papa? Kok bolak-balik ke belakang? Capek ya, semalaman kerja keras! Mama juga. Nanti tak masakin gulai sumsum domba, biar kembali perkasa! (KETAWA GENIT)
(BERBISIK DI HP) Ssstt! Dia ke kamar mandi lagi. Nanti kalau dia udah masuk kamar kita sambung lagi. Sabar. Muaacchh. Muacchhh! Apa? Celana dalam? Pakai dong, masak tidak (GELI GENIT) Apa? Warnanya? Untuk apa? Jorok ah! Pink!
SUAMINYA MUNCUL. X TERKEJUT.
Ya Allah, Papa bikin terkejut aja. Apa? Putih? Apa yang putih, Pa? Apa? Celana dalam saya? (MEMERIKSA) Ya, Papa betul! Putih. Mama baru ingat yang pink udah diganti dengan yang putih, habis yang pink basah kena itu. (KETAWA BINAL) Kenapa kok Papa tiba-tiba menebak warna celana dalam Mama? Apa? (TERKEJUT) Apa? Ya Tuhan, ampunnn! Jadi itu Papa? Yang tadi nelepon itu Papa? Jadi, si John yang di facebook itu Papa, pakai nama dan foto samaran? (MENJATUHKAN DIRI DI KURSI) Ya ampun! Aku tertipu. (TERKEJUT. MENOLEH KE SAMPING) Taksannn! Apa? Ya Tuhan! Petugas gelo yang yang minta tebusan itu kamu?! Itu kamu?! Minta ampun. HP brengsek! (MEMBANTING HP KE LANTAI) Mulai sekarang aku tidak mau main HP-HPan, main facebook, main twiter lagi!!
MENGINJAK-INJAK HP. TAPI HP MASIH BISA BERDERING. X MELEMPARKAN HP KE PENONTON SAMBIL BERTERIAK MEMAKI.
Tai kucingggg!!!
X DUDUK ANTENG, MEMANDANG PENONTON.
Bayang-bayang itu membuat saya ogah main HP lagi dan masuk dunia maya! Biar aja dikatain aja dikatain orang gaptek!
Jakarta, Jumat, September 2015


IBU SEJATI
Karya: Putu Wijaya
Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi, atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang yang telah khilaf, sesat, bejat, buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka dalam kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri. Alasannya tak ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.
Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh laporanku yang terus terang mengakui kesalahan Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya. Banyak yang bilang kalau berterus terang mengaku dosa hukumannya ringan.
Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri? Siapa lagi yang bertugas mendera putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk pacar sendiri yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?
Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah alpa tidak berhasil menjauhkan dia dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal. Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa lagi yang akan bisa memaksa dia bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera, asal sepantasnya, agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.
Semoga peradilan masih memberikan kesempatan generasi muda memperbaiki kesalahannya. Penjara akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi hukuman nanti semoga iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang kembali ke jalan yang benar! Ya Allah, tolonglah ibu yang malang ini menumpas setan yang menguasai jiwa Ujang!
Tetapi malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar satu keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib musnah kata beliau lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai mati!  
Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada ibu membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku sendirilah Iblis yang ganas.
Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu menerima tudingan biadab, dengan sesal berkepanjangan, aku ibu yang kejam berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun. Akulah yang harus dihukum atas kebodohanku sendiri.
Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku langsung tumbang. Sementara putraku yang malang itu besar jiwanya. Ia sedih melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya dengan minyak kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak kembali. Ia sama sekali tidak megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak menggugat kebekuan hati presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa nasibnya malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa, katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri teladan yang Ujang akan selalu kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas keberanian ibu.
Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia seorang berdosa, kau antar sendiri agar dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu agar tak ada lagi kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi sejarah baru di negeri yang sedang digalau narkoba ini. Semoga lebih banyak lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.
Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku merayap pulang. Tak sanggup menatap kegagahan putraku. Tak sanggup mengecilkan rasa berdosaku. Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan siang bersama ibu sebelum dieksekusi.
Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama yang sedih itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah suapan pertama, tapi tetap tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.
Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu pun tetangga sudi menolong. Biar saja perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega bunuh anak sendiri. Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang bertentangan dengan kemanusiaan!
Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya Allah, ampun! Aku terpekik melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang ibu kota ke tempat penembakan. Ujangggg!
Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata dikokang untuk tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti hidup ini. Otakku gelap memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar mandi. Tak perlu taksi, tidak takut terlambat macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta kusebrangi sekejab mata. Di lapangan tembak kusaksikan senjata yang terhunus menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di tunggu tak kunjung terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-tiba keluar perintah: Turun senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke tangsi. Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah. Biang kerok sejati pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan terang. Ujang putra ibu yang baik bersiul pulang ia beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan kebenaran.

Jakarta, Desmber. 2015


      


IBU SEJATI
Karya: Putu Wijaya
Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi, atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang yang telah khilaf, sesat, bejat, buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka dalam kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri. Alasannya tak ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.
Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh laporanku yang terus terang mengakui kesalahan Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya. Banyak yang bilang kalau berterus terang mengaku dosa hukumannya ringan.
Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri? Siapa lagi yang bertugas mendera putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk pacar sendiri yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?
Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah alpa tidak berhasil menjauhkan dia dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal. Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa lagi yang akan bisa memaksa dia bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera, asal sepantasnya, agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.
Semoga peradilan masih memberikan kesempatan generasi muda memperbaiki kesalahannya. Penjara akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi hukuman nanti semoga iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang kembali ke jalan yang benar! Ya Allah, tolonglah ibu yang malang ini menumpas setan yang menguasai jiwa Ujang!
Tetapi malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar satu keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib musnah kata beliau lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai mati!  
Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada ibu membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku sendirilah Iblis yang ganas.
Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu menerima tudingan biadab, dengan sesal berkepanjangan, aku ibu yang kejam berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun. Akulah yang harus dihukum atas kebodohanku sendiri.
Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku langsung tumbang. Sementara putraku yang malang itu besar jiwanya. Ia sedih melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya dengan minyak kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak kembali. Ia sama sekali tidak megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak menggugat kebekuan hati presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa nasibnya malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa, katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri teladan yang Ujang akan selalu kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas keberanian ibu.
Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia seorang berdosa, kau antar sendiri agar dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu agar tak ada lagi kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi sejarah baru di negeri yang sedang digalau narkoba ini. Semoga lebih banyak lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.
Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku merayap pulang. Tak sanggup menatap kegagahan putraku. Tak sanggup mengecilkan rasa berdosaku. Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan siang bersama ibu sebelum dieksekusi.
Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama yang sedih itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah suapan pertama, tapi tetap tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.
Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu pun tetangga sudi menolong. Biar saja perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega bunuh anak sendiri. Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang bertentangan dengan kemanusiaan!
Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya Allah, ampun! Aku terpekik melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang ibu kota ke tempat penembakan. Ujangggg!
Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata dikokang untuk tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti hidup ini. Otakku gelap memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar mandi. Tak perlu taksi, tidak takut terlambat macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta kusebrangi sekejab mata. Di lapangan tembak kusaksikan senjata yang terhunus menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di tunggu tak kunjung terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-tiba keluar perintah: Turun senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke tangsi. Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah. Biang kerok sejati pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan terang. Ujang putra ibu yang baik bersiul pulang ia beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan kebenaran.

Jakarta, Desmber. 2015
      
      
     
 KURSI
Karya : Putu Wijaya
SEBUAH KURSI TERIKAT TAMBANG HINGGA BISA DITARIK, NAIK-TURUN.
POSISI AWAL KURSI DIATAS.
Dimulai dengan perebutan kursi.
DENGAN GALAH PANJANG "MEMETIK" KURSI TURUN, LALU DIDUDUKI.
Bravo! Ketika kursi sudah direbut, langsung diduduki, seperti milik sendiri. Kontan pemiliknya mulai berubah pekerti.
BERUBAH LAKU DAN SUARA.
Bukan saja karena duduk di kursi memerlukan aturan-aturan, kebiasaan dan kelayakan tertentu, bahkan juga bahasa dan kostum khusus, tetapi juga lantaran punya daya serap luar biasa. Ada yang menyedot kontan, ada yang perlahan lahan. Tetapi umumnya, kebanyakan setelah duduk di kursi, manusianya berubah menjadi makhluk kursi.
MENGENAKAN KOSTUM MAKHLUK KURSI.
Makhluk kursi adalah manusia yang tidak Iagi hadir atas namanya sendiri, tetapi pribadi makhluk kursi, sesuai dengan jenis kursinya. Meskipun namanya sama- sama kursi, ada seribu satu macam kursi. Kursi malas, kursi untuk para pemalas. Kursi makan, kursi buat orang kemaruk makan. Kursi pengantin, kursi yang menyulut pertumpahan darah. Kursi goyang, buat nenek yang masih ingin digoyang. Kursi tamu, kursi untuk memamerkan gengsi. Kursi listrik, kursi buat penghuni neraka. Kursi anggota DPR, nah ini kursi best seller yang paling laris diperebutkan, karena siapa yang duduk di atasnya akan paling cepat jadi makhluk kursi.
Mahluk kursi bukan manusia biasa. Tapi manusia yang di pantatnya ada kursi. Bukan sembarang kursi, tapi kursi yang bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa, karena kursí itu punya kaki tangan banyak. Makhluk kursi punya tongkat untuk menggerakkan orang laín untuk melaksanakan apa diinginkannya atas nama kepentingan masyarakat atawa rakyat. Dengan duduk di kursi, makhluk kursi adalah bangsawan elektronik. Dihormati, didahulukan dan diberikan prioritas, fasilitas VIP. Hidupnya, kenyamanan, keluarganya, dilindungi oleh kursi. Kesejahteraannya tidak terancam, karena akan memalukan rakyat, bila abdi rakyat itu naik angkot dan makan di Warteg. Apalagi beol dan sikat gigi di kali. Mereka harus gendut, bahenol dan banyak main SMS supaya RUU tidak ngetem tahunan. Contohnya, ini, lihat saya!
MEMAKAI SESUATU ATRIBUT WAKIL RAKYAT.
Makhluk kursi pada awalnya manusia sederhana. Banyak yang dari kampung miskin. Mereka rendah hati, sangat terbuka, tapi tersulap drastis setelah jadi makhluk kursi, lantaran diembat oleh kursinya sendiri. Bahkan begitu jauh beda dari aslinya, sehingga mereka bahkan tak dikenali oleh masa lalunya sendiri.
MENAMBAH ASESORIS.
Perubahan itu tentu saja mereka sadari. Bahkan dengan sengaja dan antusias mereka lakukan karena memang itulah target nomor satunya, yaitu mengubah nasib! Agar lebih bergengsi dan nyaman.
Perubahan itu awalnya sangat bertentangan dengan hati nurani yang bersangkutan. Bahkan yang bersangkutan sempat menentangnya mati matian. Tapi justru karena mau menentang itulah agenda pokoknya ikut rame-rame rebutan kursi. Tapi apa daya, setelah kursi bisa dikuasai, sihir kursi membetotnya perlahan-lahan.
KURSI MENGGELEPAR.
Ternyata bukan hanya makhluk kursi bernyawa, kursi yang benda mati itupun hidup. Kursi punya ambisi! Sergapan ambisinya halus, lembut, begitu sopan, sabar, mesra, bahkan sensual dan indah. Mata hati yang dikepretnya bergeser perlahan-lahan, melemas, menerima aturan main yang baru. Bagaimana caranya bicara, apa yang harus diucapkan, apa yang pura-pura tak didengar, bagaimana cara melihat yang tak ada dan apa yang tak usah dilihat meskipun mencolok mata, apa yang pura-pura lupa padahal harus dilakukan. Semua ada tuntunan bakunya dalam silabus yang komplet.
Makhluk kursi harus mampu menyesuaikan diri. Lalu mereka belajar memaafkan kejahatannya sendiri dengan membahasakan bahwa pengkhianatannya adalah taktik dan strategi berkelit, agar bisa bertahan terus, berjuang untuk membudayakan kursi, yang pada akhirnya nanti ambruk kalau diduduki orang lain.
Untuk keperluan merebut kursi, diperkirakan belanjanya mulai dari 10 M. Sebuah harga yang tak masuk akal bagi kebanyakan rakyat jelata. Beberapa kali hidup kembali pun, banyak orang tak akan mampu mengumpulkan sebanyak itu. setengahnya pun tidak. Sebetulnya, banyak dari mereka, makhluk kursi itu, juga tidak mampu. Untungnya ada sponsor.
Bagi yang melihat kursi sebagai kuda sembrani naik ke surga dunia, memang matematikanya beda!  Di mata pedagang, kursi adalah peluang empuk. Kalau ada jaminan pasti menang, berapa pun uang sajennya akan ditutup. Sekarang abad sponsor, sejatinya penyandang danalah yang bertarung. Makhluk-makhluk kursi itu hanya wayangnya. Akibatnya, kemenangan dikuntit oleh bagaimana bayar utang di belakang. Tapi itu perkara nanti. Yang penting rebut kursi, menang dulu!
MENGGEREK KURSI.
Ketika perhelatan akbar perebutan kursi digelar, berbagai tontonan dimainkan hiruk pikuk. Pemilihan yang merupakan proses melahirkan pemimpin, menjadi kontes bakul jamu adu penampilan jual janji dan mimpi. Dan masyarakat yang suka hiburan, serta butuh kegiatan, karena kebanyakan pengangguran, menyerbu menjadi peserta dengan semangat menggebu-gebu.
KURSI DIPEREBUTKAN, DIPETIK BAGAI BUAH, PAKAI GALAH PANJANG,
Perebutan kursi menjadi perang tanding kekuatan, yang memerlukan tidak sedikit uang dan seringkali juga nyawa. Yang paling menyedihkan adalah ketika perlehatan itu berakhir, setelah ketahuan siapa yang berhak menduduki kursi, yang kalah protes, minta permainan diulang!
BERHASlL MENGGAET KURSI.
Akhirnya, menang! Makhluk kursi sering adalah sisa-sisa perjuangan mati-matian perebutan kursi. Begitu kursi diduduki, tak terkecuali juga Oleh pantatnya sendiri, energinya habis. Pertarungan sudah dianggap tuntas, Hari-hari selanjutnya adalah merayakan dan menikmati kursi. Sedangkan timbunan beban kerja yang menjadi tugas sebagai makhluk kursi, dilupakan.


Tahun pertama, proses belajar, Banyak salah, wajar. Tahun kedua, mulai mencium dan menjajaki peluang. Tahun ketiga, ngebut bayar utang dan menabung untuk masa depan. Dua tahun sisanya, memasuki tahun kecemasan. Takut kehilangan kursi. Harus sudah mulai ngatur siasat, taktik, strategi bagaimana caranya agar kursi tidak jatuh ke pantat orang lain.
KURSI MAU DISEMBUNYIKAN, TAPI KURSI MENOLAK, AKHIRNYA KURSI DIKEREK NAIK.
Untuk itu kembali diperlukan duit. Dengan berbagai cara kursi disembunyikan (KURSI DITUTUPI KAIN) Peluang terobosan lawan, dipalang. (KURSI  DITEMPEL TULISAN "BUKAN KURSI") Dana dikeduk serabutan. (MENGEDARKAN BESEK/KALENG SUMBANGAN) Makhluk kursi gentayangan keliling lapangan jual kecap. Pakai segala macam asesoris, parfum, kosmetika supaya kelihatan seksi untuk dipilih. (MEMOLES MUKA. PUTIH) Artis, media, paranormal dan tak perlu malu metode klasik, jampi-jampi dukun dan para prokem dikerahkan.
Kursi kelihatan nrimo pasrah saja disatroni, tapi sejatinya, bukan kursi yang terus ditunggangi, tapi justru kursi yang sudah mengembat habis manusia.
KURSI JATUH MENIMPA.
Aduh! Begini jadinya kalau sudah tak punya kursi!


                                                                                                    JAKARTA. 20 MARET 2012



                                        PUTRI IBU
Karya : Putu Wijaya
MONOLOG INI BISA DIMAINKAN OLEH SATU ATAU DUA PEMAIN, DI DUA ATAU SATU SET
1
DEPAN PINTU
PUTRI IBU PULANG, TETAPI DI DEPAN PINTU TERTEGUN, TAKUT MASUK
Ibu, ini aku. Putrimu yang kabur lima tahun lalu. Dibawa makelar dengan janji palsu. Diiming-imingi akan meraup uang dari dunia baru, untuk masa depan kita yang gemerlapan. Tapi di ibu kota aku baru tahu itu semua hanya bujuk rayu. Karena terburu nafsu aku tertipu. Bukan dolar kutumpuk di saku tapi dosa besar yang membuat malu.
Yang putih telah menjadi hitam. Yang hitam bertambah kusam. Aku teringat pesanmu yang dalam setiap malam sebelum tidur. Untuk apa berlimpah rezeki jahanam, bila hati tak tenteram? Tapi nyatanya kini aku terbenam jadi wanita malam.
 Inilah putrimu, ibu. Pulang basah kuyup dililit sedu sedan di pintumu. Izinkan aku sebentar sujud di telapak kakimu karena telah membuat kuyup mata, perih rasa dan gelap pikiranmu.
Ya allah, rambut di kepalamu yang kau pakai menggosok luka akibat aku waktu bocah jatuh melangkah, telah tipis dan putih semua. Pandanganmu pun kabur. Tapi telingamu tetap ingat suara telapak kakiku. Dan nfasku tercium. Bahkan isak tangisku kau hafal. Begitu suaraku terdengar, wajahmu basah, kau tahu putrimu telah pulang tetapi kalah.
Ibu, kutuklah putrimu yang sesat ini. Pukul aku dengan kata-kata keras. Jangan maafkan kesalahanku, karena aku pun sangat benci pada apa yang telah kulakukan. Tapi berikan aku kesempatan, sedetik saja,  biarkan aku menghapus air mata dukamu. Biarkan aku menemani sisa hidupmu, walau hanya sekejap. Perkenankan aku merawat, menghibur dan mencintaimu. Menyayangi dengan sisa kemampuanku agar tak lagi setiap malam kau hanya tersedu.
Inilah putrimu, ibu. telah pulang dari rantau yang berduri. Tetapi tubuhmu telah keburu kaku. Bisu tak lagi dengar pengakuanku. Andaikan sehari lebih cepat, pasti masih sempat kutangkap bisikanmu. Masih akan sempat kau ampuni dosaku. Ibu, buka sebentar saja matamu yang terkatup itu. Lihat putrimu kembali, terbakar sesal dililit dosa. Apa guna rezeki kalau kau tak ada. Tinggal doa. Semoga ibu tenang jauh disana. Dan aku bersumpah tobat selama-lamanya. Kecuali (TERKEJUT)
PINTU. TERBUKA. IA MELIHAT IBU. DAN IA JATUH PINGSAN.
2
DI BELAKANG PINTU.
IBU BERDIRI DI PINTU MELIHAT PUTRINYA KEMBALI.
Anakku, buah hati belahan kalbu. Subuh itu, ketika kamu kabur dari ibu dengan tinggalkan sajadah kesayanganmu, serta surat pendek tekadmu menjual diri di ibu kota, ibu menjerit tertelan luka.
Bukan ibu tak paham hasratmu berjuang. Bukan tak setuju perempuan harus maju. Bukan tak bangga bila kamu mampu meraup uang untuk mengangkat nasib kita yang malang. Ibu kenal api yang menyala dalam darahmu. Begitulah dulu bapakmu mempesona ibu.
Tak hanya lelaki, perempuan juga harus mampu menegakkan benang basah. Berpisah tak berarti terpisah. Kamu tidak pernah pergi.  Semakin kamu jauh, semakin kamu berlabuh. Semakin kamu hilang, semakin kamu pulang. Semakin kamu pergi, semakin kamu kembali ke hati ibu.
Seperti bapakmu, lelaki jantan yang ketagihan melabrak nasib, kamu pun sama. Hanya saja tak kamu berikan ibu kesempatan memelukmu karena kamu ingin membuktikan kamu bisa mandiri.
Ah, setahun Ibu menangis, menunggu beritamu. Dua tahun tak ada kabar. Ibu pikir berarti kamu gagal, karena surat pasti mengalir kalau kamu beruntung. Seperti Suci, anak tetangga itu, SMS-nya mengalir tiap Minggu. Ibunya sudah ia belikan sawah, kambing dan HP.
Tetapi jangan salah, Ibu tidak ingin membanding-bandingkan. Anak tetangga adalah anak tetangga, anak Ibu tetap anak Ibu, apapun yang terjadi. Ditambah berapapun tidak akan Ibu tukar. Bagaimana pun anak Ibu kini, apapun yang tak kuharap terjadi, anak Ibu tetap janin IBU yang kugendong sembilan bulan. Ibu susui kamu dua tahun sambil menggarap sawah yang belum disita rumah gadai. Sekali anakku kamu tetap anakku.
Jangan pikirkan yang ta perlu dipikir. Renungkan saja yang pasti berguna. Lapangkan dada menerima apa adanya. Pulanglah peluk ibu sekali lagi. Hangat tubuhmu akan kujadikan selimut. Suaramu akan membunuh sepi. Kehadiranmu akan mencuci habis perihku.
Jangan ragu-ragu nanti kamu tersandung oleh kakimu sendiri. Pulanglah sekali saja
Apa pun yang terjadi. Ampuni ibu, yang telah mengumpatmu laknat. Pulanglah, tengok ibu yang sudah berkarat ini. Ibu akan mandi bahagia, kalau saja yakin kamu masih ada. Tetapi (TERKEJUT)
TERDENGAR BUNYI TEMBAKAN
3
DEPAN PINTU
PUTRI IBU YANG REBAH ITU BANGUN, SEPERTI TERJAGA KELUAR DARI MIMPINYA DIBANGUNKAN OLEH KETUKAN PINTU.
Siapakah itu mengetuk di malam bisu, masuk ke relung hati yang terkatup, menghampiriku dengan langkah yang kukenal, lalu duduk mengusap kepalaku. Tanganmu tak asing. Harum rambutmu menamparku ke masa bocah.
Kaukah itu, ibu yang tanpa kuminta datang mendampingi. Yang selalu hadir setiap aku terpuruk. Mengucap hanya sepatah kata tapi yang tak terlupakan, yang selalu menegakkan kembali kepalaku dari kekalahan. Apalagi pada malam ini!
Kaukah itu, Ibu? Sosok yang tak pernah kupikirkan, tapi tak pernah lupa memikirkanku.
Kaukah itu, Ibu? Yang selalu berdoa untukku tapi tak berhasil menembus tembok yang kubangun dalam kesesatanku, yang terus berdoa seakan yakin kesia-siaan tak ada batas jenuhnya.
Aku sangat malu bertahun tak memberimu kabar. Tapi kau tak pernah henti menyanyangi.
Walau hanya kata-kata, tetapi itulah sesungguhnya yang telah membuatku tabah.
Kapan saja, apa pun kesalahanku, kau selalu mengakhirinya dengan sayang. Dan hari terakhir itu, ketika untuk penghabisan kalinya kusakiti hatimu, sebelum pergi. Ketika aku menyesali kenapa kau begitu terima saja hidup papa jadi istri petani miskin padahal kecantikanmu dulu bisa berbuat yang lebih nyaman.
Waktu itu Ibu menangis, bukan karena menyesal oleh umpatanku, tapi kau teringat ibumu sendiri dulu. Nenekku itu juga pernah menangis karena kau marah terpaksa putus sekolah gara-gara harus bantu dia di sawah.
Lalu kau ulangi lagi apa yang dikatakan Nenek:
Anakku, bagaimana pun pedihnya hidup, ingatlah kamu masih punya Ibu yang akan selalu menemanimu ke mana pun kau pergi ibu terbawa. Apa pun yang menimpa kita berbagi. Bila kamu tumbang ibu ikut perih. Bila kamu perih Ibu yang paling sedih. Bertahanlah dengan tabah. Semua akhirnya akan lewat juga. Yang di Atas itu sudah mengaturnya.
Demikianlah  detik-detik terakhir menghampiri. Kurasa tangan Ibu menuntunku sejuk gemetar di sekujur jiwaku reda kalau sepuluh laras senapan itu nanti serentak menembak Aku telah pasrah, aku tak marah presiden tak berkenan memberikan grasi Eksekusi mati pantas bagi putri ibu yang sesat ini.
MEMASANG PENUTUP MATA. BERSIAP. BERDOA. ABA-ABA SUARA. 10 SENJATA DITEMBAKKAN. PUTRI IBU TUMBANG  

                                                                                                               Jakarta, 16 September 2015


MAK
Karya : Putu Wijaya
MAK MENATAP KORBAN BERISI GAMBAR/BERITA ANAKNYA TERBUNUH DIJAKARTA. IA TIDAK PERCAYA. IA MELETAKKAN KORBAN DISAMPING BUNTALAN BERISI BARANG-BARANG PRIBADI MILIK ALMARHUM YANG DI TEMUKAN DI KONTRAKANNYA.
SETELAH BENGONG DIA NGOMONG
Mayat terapung dikali ciliwung? Tangannya cedera? Mukanya tak bisa dikenali lagi karena siksaan? Tapi di lehernya ada kalung yang menjelaskan bahwa ia adalah Marsihati, anak Mak? Mak tidak percaya!
MENGEMBALIKAN KORAN.
Tak mungkin hanya karena ada kalung di lehernya yang bertuliskan Marsihati berarti anak Mak sudah mati. Banyak orang yang bernama marsihati. Ini pasti keliru. Marsih, anak Mak, tidak pernah memakai kalung. Kalung emas lagi. Dia orang yang sederhana. Dari kecil Mak mengajarkannya kesederhanaan dan prihatin.
MERAIH BUNTALAN, LALU MEMERIKSA. MENGELUARKAN BEBERAPA BUAH BARANG. ADA PAKAIAN ADA SANDAL.
Dua tahun yang lalu, waktu ia pamitan ke Jakarta bersama Zuleha, ia memang memakai pakaian dan klompen ini. Ini memang kepunyaannya. Tapi Mak tidak percaya kalau orang yang terbunuh itu Marsih. Mengapa ia sampai terbunuh? Menurut dukun yang meramalnya waktu lahir, Marsih masih akan membawa rezeki pada Mak. Umurnya akan panjang. Jadi tak mungkin!
MENEMUKAN FOTO. TERTEGUN.
Tapi Mak tak menolak kalau benar Marsih menninggal. Buat apa Mak menolak? Nasib di tangan Tuhan. Kalau Tuhan sudah mengatakan Marsih mati, biar kata dukun apa, dia juga akan mati.dan mak mesti menerima. Tapi sekarang ini hati Mak mengatakan Marsi masih hidup. Percayalah, yang mati itu bukan Marsih.
MENYUGUHKAN SEGELAS AIR PUTIH
Silakan minum. Mak tidak punya apa-apa hanya air putih. Nanti satu ketika akan jelas bahwa Marsih hidup. Marsih ke Jakarta untuk mencari rezeki. Barangkali sekarang belum berhasil. Tapi ia akan pulang nanti. Mak masih sabar menunggu sampai dua-tiga tahun ini. Dan Mak terima semua pakaian Marsih ini, sebab ini memang pakaiannya. Terimaakasih mak ucapkan atas berita dan jerih payah sampean membawa semua barang ini pada Mak. Semoga tuhan membalas kebaikan hati sampean.
BEBERAPA TETANGGA DATANG. MAK BERDIRI.
Mari masuk. Mari. Tidak ada apa-apa. Bapak ini menyampaikan kabar dari Jakarta. Ya, Marsih belum pulang. Ada beritanya sudah meninggal, tapi Mak tidak percaya. Itu orang lain. Kebetulan namanya sama. Mak yakin Marsih masih hidup. Ya. Mak baik-baik saja.
KEMBALI MELADENI TAMUNYA.
Ya, begitulah. Banyak godaan buat orang miskin. Tapi Mak tetap tabah. Marsih akan kembali nanti. Memang marsih seharusnya tidak berangkat ke Jakarta. Apa yang dicari di Jakarta? Di sini saja ia bisa memperoleh suami yang baik. Banyak yang senang, semuanya ingin kawin dengan dia. Bahkan, Dul yang punya bengkel itu juga sudah terang-terangan ingin melamarnya, tapi kok dia pergi juga.
TIBA-TIBA MAK MENANGIS. IA MENGHAPUS AIR MATANYA DENGAN UJUNG KAINNYA.
Betul, dia sudah siap-siap menabung untuk kawinnya. Tahunya Marsih pergi ke kota sebelum sempat di lamar, kata Dul malam itu di warung kopi. Dia juga terkejut mendengar berita kematian Marsih. Padahal dia dulu pernah benci, boleh dibilang hamper dendam. Dia anggap Marsih mempermainkannya. Baik-baik begitu ternyata tidak ada apa-apanya. Untung saja dia belum terlanjur melamar. Coba kalau, wah bisa malu, kata si Dul. Mak jadi kasihan sama si Dul. Anak itu sebenarnya hatinya baik, hanya badannya yang tidak cocok dengan Marsih.
TERINGAT PADA DUL
Barangkali karena pikirannya rusak, Dul malam itu minum bir. Sebenarnya dia diam-diam masih mengharapkan Marsih akan kembali. Begitu kembali akan dilamarnya, sebelum orang lain mendahului. Tapi tadi pagi ada berita Maarsih meninggal, terbunuh di kali Ciliwung. Jadi, saya betul-betul patah hati sekarang, Mak, kata si Dul. Sebab tidak ada orang yang seperti Marsih lagi di kampung kita ini. Cantik, tetapi mau bersahabat dengan siapa saja. Baik kepada semua orang. Keibuan lagi. Ya kan, Mak?!
MAK MENGANGGUK.
Dia tidak mengerti mengapa orang sebaik Marsih bisa mati di bunuh. Siapa yang tega membunuh orang yang sebaik dan secantik Marsih, Mak?
MAK MEMBUJUK DUL
Sudahlah, Dul. Orang baik itu memang suka jadi rebutan. Dianya baik, tapi orang lain tidak suka dia baik pada semua orang. Mungkin ada yang iri hati, ada yang tidak senang melihat anak Mak baik sama semua orang. Jadi, begitulah. Walhasil nasib manusia ditangan Tuhan, Dul. Sabarkan hatimu.
Aku akan ke Jakarta untuk cari berita supaya lebih jelas, Mak.
Jangan, Dul. Kalau pembunuhnya nanti salah sangka, mengira kamu mau nuntut balas, kamu malahan bisa digoroknya juga.
Dul jadi bengong.
Mak nyesel juga ngomong begitu. Bukan begitu maksud Mak. Mak Cuma usaha jangan sampai dul nyusul anak Mak ke Jakarta. Nanti ngerecokin Marsih yang lagi berjuang untuk keluarga. Untungnya Dul paham. Betul juga, katanya. Sudahlah, kalau memang begini kesudahannya, apa mau dikata. Dul kasihan saja sama Mak.
Lho jangan, Dul. Mak yang kasihan sama kamu. Kasihanilah dirimu. Kalau kamu ketemu anak Mak sekarang, pasti akan kaget. Kata Zulaeha, namanya bukan marsih lagi tapi ganti jadi Mery. Tidak akan cocok lagi diajak mandi dan berak di kali. Dia sudah kaya, Dul.
MAK JALAN.
Mak jadi inget waktu masih muda. Mak juga cantik seperti Marsih. Boleh dikata Mak kembang kampong. Seperti bunga dirubung lebah. Tapi sayang kelakuan Mak seperti Marsih sekarang, kurang hati-hati. Kecantikan itu berbahaya buat yang punya sendiri karena kalau kurang tahu atau terlalu tahu bisa menjerumuskan. Akibatnya Mak menyakitkan hati banyak lelaki. Akhirnya bukan jadi kaya malahan Mak jatuh pada penjudi dan pemabuk yang kemudian hilang sebelum Marsih lahir. Sejak itu mak bertobat, jadi orang baik-baik. Tapi yang sudah kejadian, tidak bisa dihapus. Semua ingat, Mak pernah jadi pusat kebencian kampong dan dicap sebagai perempuan nakal. Sekarang sebutannya WTS alias pelacur. Tapi kan semua pekerjaan mulia.
KEMBALI PADA SI DUL.
Sudahlah, Dul, lupakan saja Marsih. Besok datanglah kau pada Nusumi, pacarmu yang selalu nguber-nguber minta dinikahi itu. Kawin sajalah sebelum kau jadi jejaka tua. Buat apa hasil bengkelmu berlimpah kalau tidak punya keturunan.
Ya, buat apa ya, Mak. Sebenarnya Dul kesini mau lapor, bukannya Dul tidak setia menunggu Marsih. Setia kok. Tapi karna dia sudah dikabarkan mati, buat apa Dul tungguin lagi. Jadi, malam Minggu ini Dul mau nikah sama Nusumi dan Ijah. Ya, dua sekalian, biar tidak usah bikin-bikin hajatan lagi nanti.
MAK TERMENUNG.
Kasihan si Dul. Di Jakarta, Marsihati masih segar bugar. Tapi kini dia bukan lagi anak Mak. Bukan lagi temannya Zuleha yang ngajak anak Mak kabur ke Jakarta hanya berbekal klompen dan kebaya yang Mak beli waktu hari raya sebelum dia kabur itu.
MELADENI TAMUNYA YANG MAU PAMITAN.
Ya sudah. Mak terimakasih. Sampean sudah jauh-jauh turun dari Jakarta bawa kabar kabur itu. (KETAWA) Mungkin tidak ada berita, jadi anak Mak yang diobok-obok. Tak apa. Itu tandanya Marsih sudah tenar. Nanti kalau pulang tak bilangin, itu pakaian nya sudah sampean antar. Ya, hati-hati, sekarang banyak begal. Ini buat ongkos (MEROGOH KE BAWAH KUTANGNYA, TAPI HANYA ADA BUNGKUS KOYOK) Lho, tadi rasanya masih ada.
KEMBALI DUDUK DEKAT BUNTALAN.
Ini kok ditinggal. O ya, ini punya Marsih.
MENGELUARKAN ISI BUNTALAN: KEBAYA, KLOMPEN, SEPATU LARS, TAS, BEDAK, GINCU, DLL.
Kebaya ini pasti sering dipakai, baunya bau anak Mak. (MEMAKAI KEBAYA) Betul. Mak kalau kangen Marsih pakai kebaya ini tidur karena ada bau Marsih. Tidak pernah Marsih cuci supaya baunya tidak hilang. (KETAWA) Bohong, ngaku saja kamu malas, Sih. Ini apa? Ini sepatu lars. Kalau becek kaki tidak kotor. Boleh juga untuk nendang anjing. (KETAWA) Ini? Ini untuk gaul. Banyak sekali perabotanmu, Sih.
Itu untuk bersaing, Mak, orang lain lebih heboh lagi.
Ah, kamu sudah cantik Marsih, jangan kebanyakan bumbu. Masakan kebanyakan bumbu hilang rasanya.
Masakan barang mati, Mak, badan kita kan barang hidup!
Ya sudah!
MAK MEMAKAI BARANG-BARANG MARSIH. LALU BERJALAN KE LUAR.
Mau kemana kamu, baru datang.
Mau silaturahmi ke tetangga, Marsih kan banyak dosa.
Jangan! Nanti ketemu si Dul!
Memang itu maunya, Mak.
Jangan! Nanti diajak kawin! Istrinya sudah dua!
Biarin, Mak,biar genap tiga. Ganjil kan lebih baik dari genap. Kalau berantem ada yang jadi juri! (KETAWA)
Marsihatiiiiii! (KETAWA DAN KELUAR)
                                                                              Jakarta,1980,1981,2016
        




ZOMBI
Karya : Putu Wijaya
1.
Bupati yang sedang lari pagi dikejar ajudannya. Pak Bupati, maaf gawat, ada laporan Kades yang di kaki Gunung Bingung, bingung. Kepala salah satu warganya yang adalah suaminya sendiri, hilang!
Apa?
Suaminya itu memang sudah kena serangan aneh, Pak. Setiap dia tidur nyenyak kepalanya lepas dari badannya lalu terbang ke mana-mana. Sudah sering terlambat pulang. Beliau sudah sering pontang-panting mencari. Kadang ketemu

lagi nyangkut di pohon beringin. Kadang dikepung anjing sehingga tak berani beranjak. Kadang terjebak ngumpet di pancuran mungkin lupa waktu ngintip orang mandi. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, sudah seminggu belum pulang. Semua penduduk sudah turun tangan mencari, tapi belum ketemu. sekarang Kepala Desa mau menghadap Bapak, minta solusi. Soalnya badan suaminya sudah tidak kuat, seminggu tidak bisa makan.
Ya sudah, kamu belikan sate kambing biar darahnya lancar.
Lho, jangankan satenya, kambingnya juga mereka punya ratusan, Pak. Dimasak apa juga mereka sanggup. Tapi bagaimana dia bisa makan kalau mulutnya tak ada? Ke mana? Ya kan ngerumpi ke mana begitu ikut kepalanya!
Oooo! Bupati baru terkejut. Berapa orang yang kepalanya suka over akting begitu? Hanya satu kan?!
Memang baru satu, Pak. Tapi para pengamat sudah memprediksi, kalau tidak diselesaikan tuntas secepatnya, bisa menjalar dan tidak kecil kemungkinan bisa menular kemari
O, kalau kecil kemungkinan bisa menular kemari, biarkan saja!
Bukan kecil begitu, Pak! Coba buka dulu headset Bapak! Nah! Saya tadi bilang, tidak kecil kemungkinan, tidak kecil kemungkinan, kosok balinya besar kemungkinan, bisa menjalar ke mari menjangkiti kita, Pak! Aduh!

Kenapa aduh?
Leher saya suka keselek sekarang, Pak.
Aduh, sana cepat periksa ke UGD, mungkin kamu sudah terinfeksi. Pakai BPJS kamu! Gratis!
Waduh, saya belum didaftarkan, Pak.
Goblok! Cepet daftar sekarang, nanti kepalamu keburu terbang.
Ya Tuhan, Bapak betul, semalam sudah terbang, Pak dan sampai sekarang belum kembali.
Apa? Gila kamu! Belum apa-apa sudah ngelantur kamu! Kepalamu masih ada begitu, klimis lagi. Habis dicukur ya?
Maaf, Pak Bupati, saya minta ampun! İni memang kepala ajudan Bapak, adik saya. Ya, adik kandung saya. Saya pinjam sebentar, mumpung dia masih tidur. Tapi dari leher ke bawah ini saya. Itu tadi laporan adik saya campur dengan laporan saya, warga Bapak yang sudah kehilangan kepala dua hari. Kepala saya sudah dua hari lebih, tepatnya sudah 30 jam kabur, Pak! Tolong saya! Apa solusinya, Pak Bupati? Aduh! Ya Tuhan, maaf! Maaf! Maaf! Masih terlalu pagi, mata saya kurang awas. Maaf, Bapak ini Pak Bupati bukan? Kepala Bapak saya kenal, betul wajah Pak Bupati, tapi dari leher ke bawah kok seperti tukang kebun Bapak yang di luaran merangkap jadi tukang kredit lintah darat yang suka joging itu?! Ya, itü tadi saya lihat kepalanya bengong kehilangan badannya. Tapi, aduh, ampun, maaf, ini kepala Bapak yang sedang pakai tubuh rakyat atau, maaf, kepala Bapak yang dipakai tukang kebun lintah darat itu?
2
Kepala Desa itu ternyata seorang perempuan berbadan sangat seksi.

Saya sudah memimpin deşa dua periode, Pak Bupati. Kepemimpinan saya diterima rakyat dan berhasil. Desa makmur, maju. Ekspor kami tiap tahun  meningkat.
Ekspor apa?
TKİ dan TKW ke Timur Tengah dan Timur Jauh. Rakyat takut karena calon Kades baru haluan politiknya beda. Dia mau melarang eksistensi pahlawan pengumpul devisa digalakkan. Itu berarti deşa bisa bangkrut! Karena itü saya mendorong suami saya majü pilkades. Rakyat menyambut. Tapi bagaimana mungkin suarni saya bisa menang kalau kepalanya suka gentayangan. İni sudah satu bulan hilang, pak Bupati!
Lho, katanya baru seminggu!

Betul! Kalau hitungan hari, memang baru 7 hari. Dia pergi tanggal 23 Juli, jadi hari ini tepat satu minggu. Tapi kita sekarang kan sudah masuk Agustus. Berarti satu bulan? Betul, Pak Bupati, saya bicara formal saja. Sudah satu bulan karni kelimpungan mencari belum ketemu sampai detik ini saya belum dapat lampu hijau dari rumah. Praktis kita sudah kalah satu set, Pak Bupati. Kalau Bapak tidak cepat bertindak, fatal, kita sudah di pinggir jurang, pasti akan kalah, Pak!


Tenang, dalam perjuangan, kekalahan setelah berjuang habis-habisan adalah janji kemenangan. Karena dengan kekalahan itü kita akan beringas, bersiap lebih kejam, sehingga kemenangan kita nanti kemenangan telak. Daripada maksamaksain menang sekarang dalam kondisi rentan, paling banter menangnya adu penalti dengan skor tipis. Michael Kompos, pengamat bola di Tibet. Ha-ha-ha!

Maaf, Pak Bupati! Saya sudah sebulan tidak main bola, Pak! Yang jelas, kalau kami sampai kalah, berarti kami juga tidak bisa mendukung pencalonan kedua Bapak dalam pilkada. Akhir kami akan menjadi akhir Bapak. itü tragis. Padahal kepemimpinan Bapak saat ini sangat kita perlukan. Bapak pelopor pencitraan kita di mata dunia, Bapaklah pendobrak feodalisme baru dan budaya korupsi, pembasmi narkoba, penyuntikan humaniora dalam politik pendidikan. Pencipta kerukunan, damai dalam perbedaan, anti anarkisme, nepotisme, radikalisme, diskriminasi, pejuang emansipasi, kebebasan berpendapat dan


Stop!
Tidak, jangan distop! İni yang paling penting: seluruh rakyat akan ngamuk kalau Pak Bupati sampai kalah!

Pak Bupati memberi isyarat ajudannya.

Betul tidak, Pak Bupati?

Bupati
ketawa. Antara betul dan tidak!

Maksud Bapak?
Maksudku, aku mengerti curhat Anda, Bu Kades. Aku setuju pada Sernua pujianmu, tapi aku sangsi, bingung melihat tubuhmu yang sensual?
Lho, kurang apa tubuh saya, Pak? Maaf kalau terlalu seksi, ini kostum minimalis serabutan karena berangkat tergesa-gesa. Maafkan kalau kurang berkenan!
O, tidak! Darah seniku kental! Aku suka keindahan, aku berkenan sekali! Tapi bukan itu!
Lalu apanya dong, Pak Bupati?
Kostum bagus. Postur tubuh Oke banget! Yang aneh, kata-kata dan gerakan kepalamu tidak sinkron, tidak sesuai, tidak serasi dengan gerakan-gerakan tubuhmu. Nah itu, coba ulangi, ya, ya itu! Tak usah diulangi lagi!! Imanku sudah kendor nanti bisa ambrol!!
Tapi, Pak, ini disebabkan jiwa saya tidak stabil, Pak Bupati!
Nah itu lagi! Ampun! Jangan kasih dia bergerak lagi! Borgol, borgol dia!
Kepala Desa itu diborgol.
Bangsat! Badan siapa yang sudah kamu pakai ini, Bu Kades?
Ajudan cepat membisiki Bupati.
O! Aku ulangi, bangsat! Badan siapa yang sudah memakai kepalamu ini, Bu Kades?! Badan siapa ini? Cepat potong leher Bu Kades! Badan siapa itu? Potong!
3.
Cepat, antarkan kepala Bu Kades pulang kembali ke Gunung Bingung! Cari di mana tubuhnya! Sekalian pulangkan tubuh seksi yang sudah memakai kepala Bu Kades ini. Cari kepalanya. Kalau sudah ketemu langsung diproses di pengadilan, hukum dengan hukuman berat seberat-beratnya, supaya menimbulkan efek jera! Jangan ada lagi pemimpin memperalat badan rakyat! Tidak boleh lagi terjadi manusia sembarangan biarpun seksi mendompleng kepala pernimpin. Kita bukan negeri zombi !
Astya Puri 2, 30 Agustus 2016
                                                                     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRUKTUR DRAMATIK

Rupa sendratasik